VOXOpini

'Bahana Mahasiswa' Connection, Seikat Catatan Narsis

Oleh : Sutrianto Djarot Rumantir, Wartawan senior dan Mantan pengasuh BM
Selasa, 19 Juli 2022 08:31 WIB
Kru 'Bahana Mahasiswa' era 1984 ke atas

PERNAH menjadi bagian dari eksistensi Surat Kabar Kampus (SKK) Bahana Mahasiswa Universitas Riau, adalah suatu kebanggaan yang tidak terperikan. Bulan ini, dia berusia 39 tahun! Dalam usia "setua" atau "semuda" ini  jika dia sebuah badan usaha, sungguh luar biasa bisa bertahan selama itu. Dalam usia segitu  sekarang lembaga ini sudah dikelola oleh generasi kedua. Artinya (rasa-rasanya) lembaga ini sudah melewati masa kritis pertama!
     

Pada masa pengelolaan dipegang oleh generasi kedua, sebuah perusahaan biasanya sedang dalam masa transisi dan itu sangat rawan atau kritis. Jika suksesinya sukses dia akan selamat dari lubang kematian. Tetapi jika alih generasi gagal, jurang kehancuran sudah menanti di depan.
     

Untunglah Bahana Mahasiswa bukan perusahaan sehingga dia masih tetap bisa leading hingga saat ini. Tetapi, apakah betul lembaga ini masih bisa tetap survive karena dia bukan sebuah perusahaan? Atau, apakah betul dia bisa "selamat" dari kematian karena diwariskan kepada generasi yang tepat? Untuk pertanyaan kedua, menurut saya, itu sungguh menggelitik. Sebab, bukankah lembaga serupa di universitas yang berbeda saat ini sudah banyak yang bergelimpangan, berbau bangkai, dan bahkan banyak yang berbau tanah?
     

Hmmmm .... Sudahlah! Saya tidak sedang membuat lubang hidung mengembang karena sebuah narcisisme. Saya hanya ingin bernostalgia saja dengan cara yang paling sederhana.
     

Saya tidak tahu berapa persen alumnus surat kabar kampus ini yang tetap konsisten menjadi wartawan setelah tamat dari kuliah. Tetapi berdasarkan fakta di lapangan saya yakin jumlahnya mayoritas.
     

Dari sekian banyak persen alumni Bahana Mahasiswa yang memilih profesi wartawan sebagai jalan hidupnya, saya termasuk di dalamnya. Ketika tamat (?), saya orang yang tidak perlu berpikir dua kali ketika memutuskan untuk hidup menjadi seorang jurnalis! Dan, alhamdulilah, itu adalah pilihan yang keren habis. Pilihan ini telah mengantarkan saya sampai ke titik puncak karier kewartawanan.
     

Kebanggaan itu bermula ketika pada bulan Agustus 1998 seorang pejabat tinggi di lingkungan Departemen Penerangan hadir di ruangan rapat kantor Riau Pos di Panam sana. Drs Subrata, nama pejabat itu, adalah Direktorat Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika (Dirjen PPG). Di masa orde baru, lembaga ini terbilang "angker" bagi media massa. Lembaga inilah yang "memberi hidup" dan "memberi mati" bagi pers.
     

Dan, siang itu, lembaga ini hadir di ruang rapat Riau Pos. Ada apa? Dan saya ada di situ! Setelah berbasa-basi dalam pertemuan yang juga dihadiri pejabat pemprov dan pemko itu, si Bapak Dirjen menyerahkan amplop kepada penanggung jawab sehari-hari Riau Pos, Rida K Liamsi. Amplop itu dibuka, dan lampirannya dibaca.
     

 

Nama saya muncul, bersama senior saya di BM dan Riau Pos, Mosthamir Thalib. Saya dan Mosthamir ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Saya pemimpin redaksi SKH Utusan (kemudian berubah menjadi Pekanbaru Pos) dan Mosthamir menjadi pemimpin redaksi majalah kebudayaan Sagang. Selesai prosesi itu, kami disalami, diberi ucapan selamat.
     

Menjadi suatu kebanggaan yang luar biasa karena itu adalah surat keputusan (SK) atau SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) terakhir yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui kementerian Departemen Penerangan. Pada masa itu kami termasuk pejabat struktural media massa yang masih sempat mengalami skrining di Ditsospol dan program P4 Pancasila 120 menit sebagai salah satu syarat untuk bisa memegang jabatan struktural di media massa. Setelah itu pemerintah, dalam hal ini Departemen Penerbangan, tidak pernah menerbitkan SIUPP lagi untuk jabatan apa pun di media massa.
     

Artinya, SIUPP itu menjadi kebanggaan lain bagi saya sebagai aktivis pers, karena setelah itu tidak pernah ada lagi pemimpin redaksi yang mendapat SK dari pemerintah. Setelah era saya itu, semua orang bisa menjabat apa saja di struktur surat kabar tanpa ada SK formal dari pemerintah.
     

Alhamdulillah, setelah prosesi penyerahan SK pemimpin redaksi yang berbau orba itu, karier jurnalistik saya, pelan tapi pasti, terus menanjak dan sampai ke puncak ketika manajemen Riau Pos Group menunjuk saya sebagai pemimpin umum Riau Pos sekaligus general manager surat kabar harian terbesar di Sumatera (kala itu). Bayangkan, jabatan itu sama dengan yang dipegang oleh Jacob Utama, pemimpin umum SKH Kompas!
     

Di luar jabatan struktural surat kabar ini, saya juga mencapai puncak di organisasi kewartawanan terbesar di Indonesia, yaitu sebagai ketua PWI Riau, dan ketua pelaksana Hari Pers Nasional (HPN) 2005 dan Porwanas VIII.
     

Semua puncak-puncak yang pernah saya capai itu sudah barang tentu tidak terlepas dari tempaan yang saya dapatkan di SKK Bahana Mahasiswa. Lebih-kurang selama empat tahun digojlog di pers kampus ini, saya -- bersama teman-teman tentunya --  boleh dikatakan dicekoki berbagai ilmu berkaitan dengan kejurnalistikan. Bukan itu saja, kami juga diajari untuk bisa menjadi seorang pemimpin, menguasai managemen dan bermental enterpreneur, kreatif, inovatif, produktif dan percaya diri.
     

Bukan hanya saya, beberapa orang alumni Bahana Mahasiswa juga sukses menciptakan puncak-puncaknya sendiri di bukit barisan pegunungan pers. Ada nama Dheni Kurnia dan Zulmansyah Sakedang yang puncak-puncaknya hampir mirip dengan yang saya daki. Mereka pernah menduduki jabatan pemimpin umum di medianya masing-masing dan pernah juga memimpin organisasi PWI Riau. Secara nasional, ada beberapa nama yang membawa bendera Bahana Mahasiswa, seperti Taufik Ikram Jamil (Kompas), Bahtiar (Pelita), Dheni Kurnia, Izarman Bey dan lain-lain.
     

Dalam perkembangan pers di Riau sendiri, keberadaan Bahana Mahasiswa sangat memberi warna dalam pertumbuhan surat kabar Riau di masa berikutnya. Bukankah Bahana Mahasiswa yang mendorong dan mendesak agar di Riau segera mempunyai surat kabar harian? Tahun 1987 (ketika itu di Riau belum ada surat kabar harian) Bahana Mahasiswa mengadakan sarasehan atau seminar untuk menggesa terbitnya surat kabar harian. Tidak sampai empat tahun setelah sarasehan itu, tepatnya Januari 1991, terbitlah Surat Kabar Harian Riau Pos. 
     

Hebatnya, boleh dikatakan 99 persen awak redaksi Riau Pos awal ini digawangi oleh alumni atau mahasiswa yang masih aktif di Bahana Mahasiswa. Dalam perjalanan selanjutnya, Riau Pos sesungguhnya adalah kelanjutan dari Bahana Mahasiswa.
   

Di surat-surat kabar atau media massa lainnya di Riau, bahkan di Batam, dominasi alumni Bahana Mahasiswa cukup signifikan. Di Surat Kabar Harian (SKH) Riau Mandiri (kemudian berubah menjadi Haluan Riau), misalnya, walaupun sempat "diserbu" oleh wartawan-wartawan yang eksodus dari SKH Singgalang Padang, namun bahana-mahasiswa-connection tetap cukup mempengaruhi keberadaan surat kabar itu. Demikian pula di SKH Tribun Pekanbaru, SKH Metro Riau, SKH Media Riau, SKH Suara Kita, SKH Detil, Utusan (Pekanbaru Pos), Pekanbaru Ekspres, Pekanbaru MX, Dumai Pos dan sebagainya, alumni Bahana Mahasiswa tetap memberi warna spesial.
     

Di organisasi kewartawanan, khususnya di PWI Riau, pengurus-pengurus inti organisasi kewartawanan tertua di Indonesia ini juga didominasi oleh alumni Bahana Mahasiswa. Sejak terbit pertama kalinya surat kabar harian di Riau (Riau Pos) jabatan ketua PWI Riau selalu dipegang oleh alumni Bahana Mahasiswa, mulai dari Helmi Burman, Seikh Sutrianto Djarot Rumantir (saya sendiri), Dheni Kurnia dan Zulmansyah Sakedang. Itu artinya bahana-mahasiswa-connection sangat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan pers di Provinsi Riau.
     

Sayang, zaman berubah .... Waktu berjalan dan semua bergerak. Sejak 10 tahun terakhir media cetak mulai memasuki senjakala. Bahana Mahasiswa yang pernah sangat perkasa dalam melahirkan dan mensuplai wartawan-wartawan handal di Riau -- bahkan nasional -- belakangan mulai terseret ke dalam arus senjakala yang mengharu-biru itu. Sejak beberapa tahun terakhir surat kabar kampus ini tidak lagi terbit dalam edisi cetak. Pernah sempat terseok-seok untuk mencoba tetap terbit dalam edisi cetak, dengan cara menggalang dana dari bahana-mahasiswa-connection, namun akhirnya tetap menyerah karena pola connecting semacam itu tidak produktif untuk sebuah aktivitas yang bersifat nafas panjang. On-line adalah pilihan yang bijak ....
     

Selain itu, ada problem yang sangat serius yang kini sedang dihadapi oleh lembaga pers kampus ini. Modal dan etos kerja! Konon, negara -- dalam hal ini universitas -- hanya mensubsidi biaya cetak dan operasional sebesar Rp 60 juta setahun. Biaya sebesar ini digunakan untuk mencetak dua edisi majalah Bahana Mahasiswa untuk per enam bulan sekali dengan oplah tidak lebih dari 1000. Sisanya digunakan untuk membiayai edisi online.
     

Dapat dibayangkan, dua edisi untuk satu tahun! Itu bukanlah majalah, melainkan jurnal. Akibatnya, frekuensi kerja jurnalistiknya sangatlah terbatas, dan itu berdampak pada etos kerja. Dengan frekuensi kerja jurnalistik seperti itu sudah barang tentu tidak akan mampu menjadikan lembaga ini sebagai kawah-candradimuka bagi lahirnya jurnalis-jurnalis tanggung yang militan dan kepenguasaan ilmu kewartawanan yang saat ini semakin tinggi dan beragam.
     

Ada ironi lain terhadap keberadaan Bahana Mahasiswa sebagai media yang diharapkan menjadi jembatan antara kepentingan negara (universitas) dan kepentingan mahasiswa. Majalah Bahana Mahasiswa hanya dicetak sebanyak tidak lebih dari 1000 eksemplar, sementara jumlah mahasiswa lebih kurang 35.000 orang. Anehnya, tidak pernah terdengar suara bising dari mahasiswa yang menuntut "hak" untuk mendapatkan informasi melalui pers kampus. Toh mahasiswa adem-ayem saja ketika "hak" mereka tidak dipenuhi oleh universitas. Padahal, mahasiswa telah mengeluarkan biaya untuk hak-hak mereka itu.
   

Pertanyaannya adalah, apakah mahasiswa tidak membutuhkan bacaan atau informasi dari kalangan mereka sendiri atau sama sekali tidak tertarik untuk membaca informasi yang disajikan oleh Bahana Mahasiswa. Dari pembicaraan sekilas saya dengan Pemimpin Umum Bahana Mahasiswa pada acara puncak hari ulang tahun Bahana Mahasiswa ke-39, saya mendapat gambaran bahwa kelihatannya mahasiswa memang tidak memerlukan pers kampus sebagai salah satu sumber informasi yang mereka perlukan dari kalangan mereka sendiri. Indikasinya, Bahana Mahasiswa edisi online hanya di-klik sekitar 100-an setiap bulannya. Jika ada momen tertentu yang berkaitan dengan kepentingan mahasiswa, barulah yang meng-klik edisi online agak mengalami kenaikan.
   

Saya tidak akan membahas tentang apakah pers kampus ini masih diperlukan atau tidak karena akan menyita tulisan yang sangat panjang. Jika ada yang merasa bahwa persoalan ini harus didiskusikan lebih lanjut, sebaiknya ada forum yang memfasilitasinya.

                                    ***

     

Secara ideologis dan filosofis, walaupun tetap sebagai produk jurnalistik, namun "semangat" atau "roh", atau 'jiwa" atau "atma" pers online tentu berbeda dengan pers cetak. Paling tidak, pada masa kejayaan pers cetak tidak semua orang bisa menjadi wartawan, dan tidak semua wartawan bisa mencapai jabatan struktural tertentu. Tetapi di era media online semua orang bisa menjadi apa saja di media massa. Artinya semangat perjuangan untuk betul-betul bisa menjadi seorang jurnalis berbeda untuk kedua bentuk media massa itu. Bayangkan saja, seorang teman, untuk tetap bisa mempertahankan status kewartawanannya, dia mendirikan media sendiri, yaitu media online. Dia wartawannya, dia pemimpin umumnya, dia pemimpin redaksinya, dia redaktur pelaksananya, dia redakturnya, dia lay-outnya, dia fotografernya, dia AE (account executif), dia menggaji dirinya sendiri, dan ... dia sendiri yang membaca medianya itu dengan cara menyendiri. Di mana lagi letak kebanggaan sebagai seorang wartawan dengan cara seperti itu?
     

Itulah sebabnya, maybe, di media online saat ini keberadaan bahana-mahasiswa-connection kelihatan kurang begitu eksis. Selain itu, mungkin juga pilihan untuk menjadi wartawan profesional mulai menyusut karena profesi ini secara finansial sudah tidak begitu menjanjikan lagi. Citra, image, nilai rasa menjadi seorang wartawan sekarang ini juga sudah tidak sehebat pada masa ketika sesama wartawan saling berlomba untuk mendapatkan berita terbaik dan eksklusif.
     

Toh, keberadaan Bahana Mahasiswa yang masih bisa terbit hingga saat ini, itu luar biasa. Dalam situasi berlimpahnya sumber informasi gratis saat ini, surat kabar kampus yang bulan ini genap berusia 39 tahun itu masih tetap bisa eksis, itu keren banget  ....
     

Pertanyaannya adalah, mengulang pertanyaan di atas, apakah betul Bahana Mahasiswa bisa eksis hingga hari ini karena lembaga itu bukan sebuah badan usaha, yaitu sebuah lembaga yang didirikan demi laba? Sederhananya, betulkah BM bisa bertahan karena para pelakunya tidak diberi target untuk mendapatkan sebuah keuntungan? Atau, mungkinkah BM masih bisa bertahan karena dia dibutuhkan oleh floating-market-nya?
     

Ya! Jawabannya: ya! Dengan tanpa target para pelakunya bisa berbuat sesuatu tanpa beban, yaitu beban bisnis dan ... moral! Tidak ada beban moral bagi BM untuk tetap terbit secara reguler karena lembaga ini pernah tidak dibiayai sama sekali oleh siapa pun! Tetapi, untuk jawaban terakhir, yaitu bahwa BM masih dibutuhkan oleh publiknya, saya agak ragu!
     

Lalu, jika tanpa beban apa pun, atas dasar apa para pelaku Bahana Mahasiswa tetap ngotot ingin menerbitkan surat kabar itu? "Roh", "semangat", "spirit" --> inilah yang dibangun dalam diri personal para pelaku penerbitan Bahana Mahasiswa. Itu tidak pernah padam. Itulah sebabnya kenapa bahana-mahasiswa-connection itu masih tetap hidup walaupun mungkin secara klandestin! Semangat itulah yang tetap mengikat "roh" BM untuk terus lahir dan lahir lagi ....
     

Saya, yang pernah menjadi bagian dari kehadirannya, merasa sangat berhutang. Jika waktu itu saya tidak memilih untuk ikut menjadi bagian darinya, maybe, saya tidak akan bisa menjadi saya seperti hari ini. Saya mungkin tidak pernah mencapai puncak-puncak itu. Tetapi ... entahlah. Bisa saja sebaliknya! Maha-berkuasa Allah Seru Sekalian Alam ....
     

Selamat ulang tahun, BM!