VOXOpini

Sindikasi Ironi Pencatutan e-KTP oleh Parpol

Oleh : Achmad Fachrudin, Anggota Bawaslu DKI Jakarta
Jum'at, 09 September 2022 18:44 WIB
Achmad Fachrudin

PENCATUTAN menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) merupakan proses, cara, perbuatan mencatut (jual beli secara gelap dan sebagainya). Pencatutan terjadi di berbagai  aktivitas, termasuk pencatutan nama dan Nomor Induk Kependudukan (NIK) di e-KTP seseorang untuk kepentingan pendaftaran calon peserta Pemilu Serentak 2024.  Tindakan tidak senonoh oleh sejumlah Partai Politik (Parpol) ini mengirim pesan penting akan adanya ancaman destruksi terhadap proses demokrasi elektoral yang justeru berasal dari Parpol. Padahal  Parpol merupakan pilar dan sekaligus aktor utama dalam kontestasi demokrasi elektoral (Pemilu).

Pada umumnya pencatutan terjadi akibat syahwat Parpol  yang tinggi untuk menjadi peserta Pemilu. Namun persyaratan dan kendalanya sangat tidak mudah. UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu mensyaratkan, calon peserta Pemilu harus memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau Serentak1/1000 (satu perseribu) dari jumlah penduduk pada kepengurusan Parpol. Dilengkapi dan dibuktikan  e-KTP dan Kartu Tanda Anggota (KTA)  Parpol. Bukti atau data e-KTP dan KTA harus masuk ke dalam Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL).

Masalahnya, tidak semua Parpol mampu memenuhi syarat tersebut. Nah bagi Parpol yang tidak mampu memenuhi syarat tersebut, melakukan kecurangan dengan mencatut nama orang. Kecurangan tersebut ada yang bisa dikategorikan Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM). Karena dilakukan secara terencana dan merupakan kebijakan Parpol dan dilakukan dari mulai tingkat pusat hingga daerah.  Sebagian lagi masuk kategori secara non TMS. Artinya: dilakukan hanya pada daerah atau wilayah tertentu, dan seporadis.

Sementara motif pencatutan bisa dilakukan dengan niat (mensrea) ‘jahat’ dan terencana untuk mengakali peraturan perundangan dan data kepemiluan berbasis sistem.  Tetapi bisa juga dilakukan secara tidak terencana,  atau terpaksa.  Karena dihadapkan pada kondisi objektif dimana terdapat Parpol yang tidak siap atau sulit memenuhi persyaratan pendaftaran calon peserta Pemilu. Untuk dapat memastikan motif di balik pencatutan nama oleh Papol memerlukan investigasi cukup mendalam dan memakan waktu.

Dari sisi modus,  pencatatutan  cukup variatif. Diantaranya (a) dengan cara meminta secara gratis foto copy e-KTP seseorang tanpa pemberitahuan maksudnya, (b)  memberikan imbalan sejumlah uang kepada seseorang secara individu atau kolektif yang bersedia menyerahkan foto copy e-KTP tanpa menginfokan maksud pemberian imbalan tersebut, (c) mendapat atau membeli foto copy e-KTP dari suatu perusahaan tertentu, atau (d) dikamuflase dengan kegiatan pemberian bantuan sosial, hadiah atau mengisi lowongan pekerjaaan di perusahaan tertentu, dan sebagainya.

Masalah Serius

Kasus atau peristiwa pencatutan nama dan NIK seseorang untuk kepentingan Pemilu tidak boleh dianggap remeh atau sepele melainkan malah serius.  Sebabnya, karena menimbulkan dampak negatif yang luas. Bagi KPU yang dalam proses pendaftaran Parpol menggunakan perangkat  SIPOL dan di dalamnya terdata data yang berasal dari praktik pencatutan,  SIPOL menjadi tidak bersih atau tidak akurat.

Bagi korban pencatutan, berpotensi menjegal motivasi ketika ingin mendaftar atau mengikuti seleksi lowongan Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI/Polri maupun instansi  yang mensyaratkan calon bukan menjadi anggota atau pengurus Parpol. Seperti  Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), hingga Ketua RT/RW, dan lain sebagainya. Pencatutan juga bisa menghambat karir seseorang yang menduduki jabatan publik atau berstatus ASN  manakala mengetahui namanya dicatut,  lalu dibiarkan. Hingga timbul dugaan bahwa yang bersangkutan secara de jure memang anggota atau pengurus Parpol.

Dari aspek etika, pencatutan nama oleh Parpol jelas tidak etis.   Di satu sisi, praktik kotor ini berpotensi menjadi sumber praktik korupsi politik—manakala Parpol tersebut berkuasa karena sejak awal sudah terlatih melakukan kegiatan secara ilegal. Di sisi lain, praktik pencatutan oleh Parpol sebenarnya sama saja dengan menggali kuburnya sendiri. Karena akan menimbulkan citra negatif dan calon pemilih tentu emoh memilih  Parpol yang juga pencatut.

Diatas itu semua, pencatutan nama dan NIK e-KTP merupakan refleksi dari suatu kondisi objektif dimana sebagian Parpol tidak/belum dikelola secara profesional dan modern, dan didukung oleh administrasi kepengurusan dan keanggotaan yang otentik. Selain mengindikasikan banyak Parpol yang sejatinya belum siap mengikuti Pemilu Serentak 2024 yang sangat rumit dan berat, baik dalam masa pendaftaran dan apalagi saat perebutan suara pemilih. Realitas objektif ini menjadi ironi akan potret realitas kepartaian kontemporer. Sayangnya dramaturgi politik ini terus berulang dari Pemilu ke Pemilu.

Gunung Es

Pencatutan e-KTP menyasar ke berbagai kalangan kalangan. Di lingkungan Bawaslu,  teridentifikasi  total 275 orang dicatut namanya. Terbanyak di Papua: 57 orang dan Papua Barat: 18 orang. Disusul Jawa Tengah: 14 orang, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara: 17 orang. Sedangkan yang namanya sedikit tercatat dari DKI: 1 orang dan Banten serta Daerah Istimewa Jogyakarta:  2 orang, dan beberapa lainnya. 

Sementara di lingkungan KPU, berdasarkan informasi hingga Rabu (4/8/2022), terdapat 98 orang. Dengan rincian empat orang personalia Sekretariat KPU Provinsi (unsur Pegawai Pemerintah non-Pegawai Negeri/PPNPN). Lalu 22 orang Komisioner KPU Kabupaten/Kota, dan 72 orang personalia Sekretariat KPU Kabupaten/Kota (diantaranya terdapat 80 persen berasal dari PPNPN).

Kasus tidak mengenakkan tersebut bukan hanya dialami oleh Penyelenggara Pemilu, melainkan juga terjadi di kalangan warga. Mereka yang namanya dicatut kemudian mengadu ke Posko Pengaduan Bawaslu Provinsi/Kabupaten/Kota. Diantaranya: di DKI 20 warga, di Kabupaten Probolinggo sebanyak 3 warga, di Kabupaten Maros sebanyak 5 warga, di  Provinsi Sulawesi Selatan sebanyak 45 warga, di Kota Batam sebanyak 4 warga, dan lain-lain.

Sebagian korban pencatutan setelah mengetahui namanya dicatut lalu mengadu ke Posko Pengaduan Bawaslu. Begitupun diperkirakan lebih banyak lagi korban pencatutan yang tidak mengadukan ke Penyelenggara Pemilu dengan berbagai alasan. Penyebabnya antara lain karena tidak mengetahui namanya dicatut oleh Parpol; tidak mengetahui mekanisme atau cara melakukan pengaduan; menganggap mengadukan kasus semacam ini tidak ada gunannya atau bahkan aib; bakal merepotkan diri sendiri dan sebagainya. Selain juga dipicu oleh faktor kurangnya sosialisasi, edukasi dan literasi seputar isu pencatutan e-KTP dalam proses pendaftaran calon peserta Pemilu.

Pastinya, kasus pencatutan yang terjadi dan menyasar berbagai instansi/institusi maupun individu,  bagaikan gunung es. Di permukaan, ada yang diberitakan di media atau dilaporkan ke KPU atau Bawaslu. Namun di bawah permukaan, terlebih pada daerah yang akses informasinya terbatas dan demografinya sangat luas dan sulit terjangkau transportasi, sulit atau jarang dilaporkan. Masyarakat yang berada di kawasan yang terbatas akses informasi serta transportasi, merupakan lahan potensial atau sasaran empuk untuk dicatut oleh oknum Pengurus Parpol atau makaler e-KTP.

Dari Aktor Hingga Modus

Pencatutan e-KTP tidak berdiri sendiri. Sekurangnya ada dua aktor yang terlibat di dalamnya.  Yakni: pencatut dan korban pencatutan.   Pelaku pencatutan, bisa berasal dari pengurus Parpol yang ditunjuk untuk melakukan pengumpulan e-KTP untuk kepentingan keanggotaan Parpol. Bisa juga dengan cara Parpol menunjuk makelar atau calo e-KTP di luar unsur Parpol. Tetapi yang sering terjadi adalah pemufakatan jahat karena saling membutuhkan dan menguntungkan kedua belah pihak.

Secara teknis, praktik pencatutan e-KTP bisa ditempuh secara langsung (man to man) menghubungi dan mencari calon korban  yang e-KTP-nya akan dicatut. Namun bisa juga dilakukan secara kolektif yang dikordinasikan oleh calo/makelar. Yang jelas, bagi makelar e-KTP, aktivitas ini merupakan komoditas dan sekaligus peluang bisnis lima tahunan sekali yang cukup menjanjikan dan menggiurkan serta menguntungkan secara ekonomi.

Sejumlah makelar e-KTP lama atau pemain lawas, ditengarai masih menyimpan  stok lama foto copy e-KTP eks Pemilu sebelumnya yang sewaktu-waktu bisa dijual lagi. Bahwa dari sebagian nama tersebut ada yang sudah meninggal dunia atau tidak lagi berdomisili sesuai e-KTP, bagi makelar atau pemasok terpenting menguntungkan secara ekonomi. Dari pihak Parpol sebagai pemesan foto copy  e-KTP (tentu yang memiliki nama dan NIK), ada yang tahu, tidak tahu atau berlagak tidak tahu  bahwa praktik pencatutan ini melanggar peraturan peurndangan dan etika Pemilu.

Adanya banyak temuan data ganda dalam kepengurusan atau keanggotaan Parpol saat kegiatan pendaftaran calon peserta Pemilu 2024 yang berbasis SIPOL, salah satu penyebabnya dapat ditelusuri dari kemungkinan ini. Yakni: Parpol mendapatkan dan menggunakan data e-KTP yang tidak lagi up date karena diperoleh dengan cara-cara yang ilegal, khususnya dengan pencatutan dan pencaloan.

Sebagian korban pencatutan mengetahui nama dan NIK-nya dicatut setelah sebelumnya melakukan pengecekan secara mandiri di Website info.pemilu.kpu.go.idSebagian lagi mengetahui namanya dicatut karena mendapat informasi dari orang lain atau Penyelenggara Pemilu.  Di luar itu, bukan tidak mungkin banyak korban tidak mengetahui bahwa namanya dicatut oleh Parpol. Bahkan satu nama korban pencatutan berpotensi dicatut oleh lebih dari satu Parpol.

Efek Jera

Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan demikian luas dan besar, kasus pencatutatn tidak boleh dianggap remeh temeh, melainkan harus disikapi dan ditangani secara komprehensif. Bagi jajaran Bawaslu, harus lebih mengintensifkan sosialisasi secara kreatif dan inovatif. Misalnya  membuka Posko Pengaduan di lokasi-lokasi strategis yang ramai dengan masyarakat atau istilahnya jemput bola. Di lokasi tersebut, Pengawas Pemilu membawa lap top serta melayani masyarakat secara langsung untuk melakukan pengecekan nama dan NIK di  website info.pemilu.kpu.go.id.

Dari sisi korban pencatutan apalagi yang berstatus ASN, pejabat publik atau yang tengah bercita-cita menjadi ASN dan pejabat publik, harus bereaksi melakukan penolakan. Caranya tentu sebelumnya  melakukan pengecekan secara mandiri di Website info.pemilu.kpu.go.idJika negatif atau tidak ada di Web tersebut, aman. Jika positif, harus segera melaporkan ke KPU dan Bawaslu setempat. Jangan dibiarkan, karena dapat mengganjal keinginan atau karir seseorang di lingkungan ASN atau pejabat publik lainnya yang mensyaratkan larangan menjadi anggota atau pengurus Parpol.

Secara teknis PKPU No. 4 tahun 2022 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR  dan DPRD Pasal 140 ayat (1) dan (2) mengatur, korban pencatutan menyampaikan pengaduan kepada KPU setempat dengan menggunakan formulir yang disediakan. Dengan melampirkan formulir yang berisi identitas kependudukan yang jelas, bukti laporan, serta uraian mengenai objek masalah yang dilaporkan. Kemudian pihak KPU akan mendelete nama masyarakat dari keanggotaan Parpol yang melakukan pencatutan.

Sebenarnya korban pencatutan dapat didorong untuk melaporkan kepada polisi. Mengacu Pasal 266 KUHP, setiap pelaku pencatutan  diancam hukaman  penjara selama-lamanya tujuh tahun. Hanya saja karena hal ini berkaitan dengan Pemilu, biasanya polisi menyarankan agar kasus ini diadukan dan diselesaikan kepada Penyelenggara Pemilu. Begitupun jika ada oknum pengurus Parpol atau makelar e-KTP diadukan ke polisi, dapat menimbulkan efek jera (deterrent effect) yang sangat efektif bagi pelaku maupun yang calon pelaku lainnya.

Langkah lain yang bisa dipertimbangkan dilakukan, dengan mengekspose Parpol yang melakukan pencatutan ke media massa, atau memviralkannya di media sosial. Hal ini sebagai bagian dari penjatuhan sanksi moral. Sementara kalangan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dapat melakukan kampanye agar tidak memilih Parpol Pencatut di hari pencoblosan Pemilu Serentak 2024. Serta memberikan advokasi hukum kepada para korban pencatutan nama oleh Parpol untuk kepentingan proses pendaftaran Parpol calon peserta Pemilu Serentak 2024.