VOXOpini

In Memoriam Indra Sumana : Mengendarai Jonder Bersama G7

Oleh : Sutrianto Djarot Rumantir, Wartawan Senior Riau
Sabtu, 18 Juni 2022 12:55 WIB
Indra Sumana sedang main catur dan Sutrianto (kanan)

Pagi Senin tahun 1985,  sekitar pukul tujuh pagi. Udara terasa berat dan lembab. Agak gelap karena awan menggantung hitam. Mendung dan mulai gerimis.

     Pagi itu, dengan seragam SMA, saya telusuri Jalan Taskurun menuju ke sekolah, SMAN 5 Pekanbaru, yang terletak di Jalan Belimbing. Ketika air mulai menguyupi baju, dari belakang terdengar suara klakson merepet dan agak malas karena baterai yang mulai soak. Saya menoleh ke belakang. Sekuter Piagio Kongo biru langit memepet saya.
     "Ayo naik," kata laki-laki gempal nyaris gendut, berkacamata hitam.
     Saya agak ragu campur takut. Walau saya kenal dengan laki-laki ini -- karena rumahnya persis di seberang jalan rumah saya, berhadap-hadapan --  tetapi saya tidak pernah bertegur-sapa dengannya. Wajah laki-laki itu, di mata saya kala itu, cukup sangar. Selain cepak dan berkacamata hitam, tubuh gempal itu berwarna agak gelap. Dibalut baju t-shirt bergaris-garis horizontal dan ngetat, dengan pangkal lengan berotot, dia selalu kelihatan seperti anggota militer.
     "Ayoo, naik!" katanya separoh memaksa.
     Dengan perasaan masih takut saya naik di jok belakang Vespa tahun 60an itu. Tanpa suara. Saya tertonggok seperti karung berisi pasir basah. Itu pasti kelihatan blo'on sekali. Kelihatan "ongok". Saya merasa sungkan, tegasnya "takut", karena selain perawakannya yang militer itu -- walaupun sebenarnya dia tidak begitu tinggi -- dia dikenal sebagai wartawan. Ya, orang-orang di daerah kami itu mengenal laki-laki ini sebagai wartawan.
     Kami tidak tahu dia wartawan apa dan koran apa. Tetapi, bagi kami kala itu, orang yang sering menyandang kamera itu pastilah wartawan. Dan laki-laki itu memang sering menyandang kamera saat mengendarai Vespa tuanya. Pekerjaan "wartawan" itu sendiri, bagi kami, cukup membuat kami "takut". Entah takut karena apa, tak tahulah. Rasanya takut seperti bertemu polisi atau tentara. Gitulah kira-kira.
      "Sekolah di mana," tanyanya memecahkan keblo'onan saya.
     "SMA 5, Om ... " kata saya pelan, masih dengan nada takut.
     Om? Sekitar lima tahun kemudian, saya menjadi heran kepada diri saya sendiri karena saya sudah tidak memanggil "om" lagi kepada laki-laki itu. Itu terjadi ketika saya sudah mulai bekerja sebagai wartawan "ecek-ecek" di SKM Genta, sekitar tahun 1989-1990. Ketika saya bertemu lagi dengannya di awal tahun 1990 itu, saya begitu saja memanggilnya "bang". Saya memanggilnya "bang" ---> Bang In, Bang Indra, Bang Indra Sumana. Ketika itu Bang In memang sudah pindah dari rumahnya di Jalan Taskurun itu. Sudah lama sekali, sehingga saya lupa bahwa saya dulu pernah digoncengnya di Vespa tuanya dan memanggilnya dengan sapaan "om".
     Ketika saya digoncengnya itu saya tidak pernah merasa kagum atau salut dengan pekerjaannya sebagai wartawan. Karena itu saya pun tidak pernah berpikir sedikitpun bahwa saya akan mengikuti jejaknya sebagai wartawan. Tetapi, di kemudian hari, saya sekonyong-konyong terhanyut dalam pekerjaan orang yang dulu saya takuti dan pernah menggoncang saya  dan saya ketahui sebagai wartawan itu.
     Sebagai wartawan ecek-ecek, kala itu saya mulai "kagum" dan segan kepada Bang In. Apalagi kemudian saya ketahui bahwa Bang In pernah jadi wartawan Antara, kemudian menjadi koresponden Suara Pembaruan. Dalam perjalanan selanjutnya, kekaguman saya semakin bertambah karena dia sering memenangkan lomba karya tulis, sering bepergian dengan gubernur mengikuti kunjungan kerja ke daerah-daerah. Sebagai wartawan ecek-ecek, apa yang telah dicapai oleh Bang In dan wartawan senior lainnya sungguh keren, asyik dan membanggakan. Saya ingin seperti mereka.
     Tetapi, untunglah, untuk bisa seperti Bang In dan wartawan senior lainnya itu saya tidak perlu menunggu waktu terlalu lama. Tahun 1993, saya gabung ke Riau Pos, koran harian satu-satunya di Riau saat itu. Sebagai koran harian satu-satunya, Riau Pos betul-betul menjadi primadona, referensi dan tolok ukur aktivitas kewartawanan di Riau saat itu. Pendek kata, jadi wartawan Riau Pos itu keren habis.
     Yang namanya nasib, Tuhan Seru Sekalian Alam yang mengatur. Di Riau Pos, karier saya melejit bak meteor. Dari wartawan biasa kemudian saya diposkan di Pemda Riau. Dengan begitu, kemanapun gubernur pergi melakukan kunjungan kerja, saya "wajib" ikut. Tahun-tahun 1994 itu -- kami masih berkantor di Kuantan Raya -- saya boleh dikatakan sudah "duduk sejajar" dengan Bang In, yang dulu saya panggil "om", bersama wartawan senior lainnya seperti Bang Fakhrunnas MA Jabbar, mendiang Bang Ahmad Saun Saragih, Bang Said Ardilla, mendiang Bang Bismar Tampubolon, mendiang Bang Jabonar Sinaga, Bang Darmasen Sinaga, Bang Armansyah Ismail, Bang Ridar Hendri, Bang Taufik Ikram Jamil, Bang Rico Pribadi, Bang Oberlin Marbun, mendiang Bang Yaunusar Bakar, Bang Irwan Siregar, dan masih banyak lagi. Untuk yang seusia, waktu itu sedang berkembang Fendri Jaswir, Zufra Irwan, Yuhanis Indra, mendiang Adrizas, Desfandri, mendiang Hendrizal Ruslan, dan masih banyak lagi (nama-nama yang saya sebutkan ini di luar yang berbeda di Riau Pos Group).
     Walaupun jumlah wartawan saat itu cukup banyak, tetapi angkanya tidak mencapai 5% dari jumlah wartawan saat ini. Di zaman itu jumlah wartawan rasanya tidak sampai 100 orang. Karena itu keberadaan kami saat itu betul-betul seperti "raja", dianak-emaskan oleh kantor-kantor atau instansi lainnya. 
     Kendati demikian, persaingan di antara kami sangat ketat. Kami saling membobol dan dibobol dalam memburu berita. Tidak ada yang namanya berita copy-paste zaman itu. Karena sedemikian ketatanya persaingan ini, tanpa sadar kami terkooptasi dalam kelompok-kelompok yang tujuannya untuk saling membobol itu tadi.
     Maka, secara tidak sadar, terbentuklah kelompok-kelompok wartawan. Ada kelompok "G-7", ada kelompok "Hang Tuah", ada yang "single-fighter", dan sebagainya. Dari kelompok-kelompok itu, yang terkuat adalah kelompok G-7. Kelompok ini -- yang diadopsi dari nama gerakan gabungan tujuh negara kuat dan maju yang tergabung dalam G-7 -- beranggotakan tujuh wartawan yang medianya sangat kuat kala itu. Saya berada di kelompok G-7 ini, mewakili Riau Pos. Anggota lainnya, Bang Indra Sumana + (Suara Pembaruan), Fakhrunnas MA Jabbar (Media Indonesia), Fendri Jaswir (Jayakarta), Yuhanis Indra (Republika), Zufra Irwan (Pelita), Wildan Nasution (LKBN Antara).
     Walaupun namanya G-7, namun anggotanya tidak mesti tujuh orang atau tujuh media itu (boleh dikatakan tujuh media yang saya sebutkan itu sebagai anggota tetap). Sekali waktu bergabung juga wartawan "single-fighter" lain yang memerlukan "sparing partner" seperti Said Ardilla (Bisnis Indonesia), Hendrizal Ruslan (Sinar), Irwan Siregar (Tempo), Saun Ahmad Saragih (Sinar Indonesia Baru), Rico Pribadi (RRI), Bachtiar (RCTI), Tony Hidayat (TPI) dan sebagainya.
     Sementara wartawan "single-fighter" yang cukup kuat saat itu adalah Oberlin Marbun (Sinar Pagi). Biasanya dia ini ber-partner dengan Herianto Marhamim (Riau Pos). Ada satu lagi wartawan "single-fighter", tetapi tidak berkelompok, yaitu Taufik Ikram Jamil (Kompas).
     Sementara kelompok "Hang Tuah" biasanya berasal dari wartawan mingguan dari Medan atau Jakarta. Rata-rata wartawan kelompok "Hang Tuah" bukan anggota PWI. "Mainnya" pun biasanya di pinggiran, dari desa ke desa, secelup dua celup, gitulah kira-kira.
     Bagaimana sepak terjang kelompok G-7? Kelompok ini sangat kuat karena beranggotakan koran² besar. Karena itu, kelompok ini sangat ditakuti, disegani dan terkadang "cukup ganas". Di dalam kelompok ini dikenal ada istilah "kepala tukang". Kepala tukang ini bisa siapa saja, tergantung siapa yang mendapat isu atau berita hot. Misalnya, saya lupa tahunnya, ada informasi bahwa Bupati Kepri Abdul Mannan Saiman dituduh menyelingkuhi pembantu rumah tangganya. Maka, kami harus cari "cukong" untuk membiayai keberangkatan kami ke Tanjungpinang, mulai dari tiket pesawat, penginapan, konsumsi, dan ... sssttt ... sedikit biaya kenakalan. Kata Zufra, untuk secelup dua celup. Kihkihkih ... masa itu ....
     Lalu, ada kejadian pembumi-hangusan Desa Mahato, Rokanhuku, tahun 1996 yang dilakukan oleh kelompok Torganda. Kebetulan saat itu, selain PT Torganda, ada beberapa perusahaan yang bersengketa di bumi Mahato, salah satunya PT MAN (PT Merangkai Arta Nusantara). Pada saat darah tumpah dan rumah-rumah warga dibumihanguskan, kami sedang berada di lokasi pertempuran.  Di dalam tim yang berangkat termasuklah Bang Indra Sumana.
     Karena suasana sudah menjelang sore dan mulai gelap, kami dijempu oleh Zonder, yaitu kendaraan "tempur" milik salah satu perusahaan yang menjadi cukong kami. Kendati suasana sangat tegang, tetapi kami tetap happy menunggangi kendaraan tempur itu. Bang Indra -- bersama Bang Fakhrunnas MA Jabbar -- yang selalu punya bahan untuk jok-jok, selalu membuat kami gelak terpingkal-pingkal.
     Artinya, di manapun kami meliputi dan melakukan investigasi, kami selalu happy, apa lagi jika Bang Said Ardilla ikut gabung, maka sepanjang jalan kami selalu terpingkal-pingkal, selain tentu membawa "sangu" pada waktu pulang.
     Tadi pagi, salah seorang anggota "tetap" G-7 itu telah berpulang. Inna lillahi wa Inna ilaihi rojiun. Semoga diampuni dosa-dosanya,dan dijembarkan kuburannya. Amiinn ....***