- 04/12/2024
JAKARTA (VOXindonews) – Industri halal saat ini tengah digandrungi banyak negara di berbagai belahan dunia, tidak hanya negara muslim, tapi juga negara-negara non-muslim.
Mengapa demikian, karena industri halal memiliki nilai pasar yang sangat fantastis, mencapai 3,1 triliun dollar AS per tahun.
Besarnya nilai pasar tersebut tentu saja membuat banyak negara tergiur untuk menjadi pemain besar dalam industri halal, termasuk juga Indonesia, yang selama ini masih lebih banyak menjadi konsumen.
Indonesia sendiri telah berambisi menjadi pusat industri halal dunia pada tahun 2024. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar, tentu ambisi tersebut sangat mungkin diwujudkan, meskipun di saat bersamaan, tantangan yang dihadapinya pun tidaklah ringan
Pakar Halal Sains Internasional, Prof. Dr. Irwandi Jaswir mengatakan, untuk menjadi pusat industri halal dunia, Indonesia harus memiliki dan memperkuat seluruh ekosistem halal.
“Mulai dari bahan baku produk, proses produksi, regulasi dan implementasi, keberpihakan baik dari pemerintah, dunia usaha, akademisi, juga masyarakat. Dan yang tidak kalah penting adalah penguatan bidang Research and Development (R&D) sehingga bisa melahirkan inovasi,” terang Prof. Irwandi seperti dilansir hajiumrahnews.com, Kamis (16/6/2022).
Prof. Irwandi menjelaskan, industri apapun yang tidak memiliki basis R&D yang kuat, pasti akan mudah hancur. Hal itu terjadi pada Nokia misalnya. Sempat menjadi penguasa di masa awal kemunculannya, namun kini Nokia hancur dan tidak lagi bisa bersaing dengan perusahaan yang memiliki basis R&D lebih kuat.
“Kalaupun kita punya produk bagus, tetap saja orang lain bisa meniru itu, dan mereka sangat mungkin menjadi lebih advance. Untuk itulah R&D perlu di perkuat agar inovasi selalu muncul. Dan saya melihat R&D halal di Indonesia masih menjadi salah satu isu yang harus ditingkatkan lagi,” ungkapnya.
Untuk memperkuat R&D halal, menurut Prof. Iswandi perlu lebih banyak akademisi yang masuk ke dalam halal sains.
“Jangan hanya menumpuk pada penelitian bahan pangan saja, tapi harus masuk ke wilayah yang lebih spesifik, misalnya dalam konteks ini riset tentang pangan halal,” jelas Peneliti yang pernah menerima penghargaan King Faisal International Prize tahun 2018 itu.
“Keberadaan riset pangan halal akan membantu menyediakan berbagai informasi alternatif untuk mengganti bahan dasar sebuah produk yang semula haram menjadi bahan dasar yang halal. Riset pangan halal juga bisa membuktikan sesuatu itu dikatakan tidak halal, baik sisi teknologi, metode dan sebagainya,” sambung guru besar IIUM Malaysia itu.
Ia mengakui bahwa riset memang membutuhkan coast atau investasi yang besar, tapi bagi Prof. Irwandi, itu bukan sebuah tantangan serius.
“Kita tinggal manfaatkan laboratorium yang ada di perguruan tinggi, itu saja sudah cukup. Yang belum itu adalah kesamaan visi-misi para peneliti,'' ujarnya.
Selanjutnya, Prof. Irwandi mengutarakan, bahwa perlu ada koordinasi antara lembaga riset, agar tidak meneliti satu isu yang sama.
“Jangan sampai misalnya ITB dan IPB meneliti satu topik yang sama, ini akan jadi menumpuk. Maka dibutuhkan koordinasi agar masalah yang ditelitinya berbeda namun masih dalam satu topik yang sama, sehingga nanti hasil penelitian itu akan saling melengkapi,” tutur Prof. Irwandi.
Ia pun menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat awam dalam membangun ekosistem halal nasional, sehingga Indonesia bisa menjadi pusat industri halal dunia.
“Masyarakat awam bisa berpartisipasi dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya penggunaan produk halal, sehingga ekosistem itu akan terbentuk,” tukasnya. (FJ)