- 11/05/2025
BAHASA dibentuk berdasarkan gabungan bunyi yang dihasilkan rongga mulut (lidah, bibir, hidung, tenggorokan, dsb). Disebut bahasa ketika ia memiliki makna. Makna terbit dari pikiran dan rasa. Pikiran dan rasa dipengaruhi lingkungan sosial dan alam.
Sebagaimana makna, bunyi pun biasanya dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan alam yang mengitarinya. Oleh sebab itu bahasa setiap puak, setiap kaum, setiap suku, setiap bangsa cenderung berbeda-beda.
Begitu juga bunyi yang menghasilkan bahasa itu. Bahkan dalam bahasa yang relatif sama sering terjadi perbedaan dialek, bahkan idioleg.
Bunyi yang menghasilkan bahasa itu disimbolkan dengan apa yang disebut dengan aksara. Lebih mudahnya disebut dengan huruf. Proses memberi simbol kepada bunyi yang kemudian disebut huruf itu adalah kreativitas intelektual kebudayaan.
Dalam pada itu, proses kreativitas kebudayaan cenderung berbeda antara satu kelompok manusia (baca juga: bangsa) dengan kelompok manusia yang lain. Banyak dan beragam faktor yang memengarungi perbedaan itu.
Perbedaan itu makin lama semakin menjauh, sehingga setiap kelompok manusia (misalnya bangsa) memiliki bahasanya sendiri-sendiri, dengan bunyi sendiri-sendiri, dan pada akhir memiliki simbol bunyi sendiri-sendiri, yang kemudian disebut huruf itu, sehingga antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia lainnya tidak saling mengerti, karena perbedaan bahasa.
Bahasa yang baik, menurut para ahli, setiap satu bunyi hanya diwakili oleh satu simbol (huruf). Kumpulan huruf yang memiliki makna disebut kata, kumpulan kata disebut kalimat, dsb.
Pada dasarnya bunyi dari suatu bahasa tidak ada padanannya dalam bahasa yang lain. Kalaupun tetap dipaksakan, sebenarnya pada dasarnya bahasa kedua sudah memberi makna baru terhadap bunyi itu. Dalam ilmu bahasa disebut dengan istilah 'serapan'.
Bagaimana memindahkan pengucapan kata 'Allah', misalnya, dari aksara arab ke huruf latin Indonesia? Apakah huruf 'l' yang digandakan itu bisa betul-betul menggantikan 'lam-bersabdu' itu?
Oleh sebab itu, tidak mudah, dan bahkan tidak boleh sembarangan --tidak boleh semena-mena-- membuat simbol bunyi dari suatu bahasa ke bahasa yang lain.
Setahu saya, dalam bahasa Indonesia tidak mengenal gabungan huruf 'sh'. Begitu juga tidak ada 'dz'. Tidak ada juga 'dl'. Dengan demikian, tidak ada penulisan 'sholat/shalat'; yang disepakati Badan Bahasa adalah 'salat'.
Begitu juga tidak ada 'ustad/ustadz', yang ada 'ustaz'. Penulisan yang disepakati 'Allah', tidak 'Alloh'. Begitu juga 'Insya Allah', bukan 'Insha Allah'. Bandingkan kata 'musyawarah' dan 'syarat', bukan 'mushawarah' dan 'sharat'
Saya juga membaca gelaja sekarang banyak orang di Indonesia menulis kata 'Insya Allah' dengan 'Insha Allah" Saya menduga hal ini dipengaruhi interaksi dengan teman-teman atau kolega dari Malaysia/Singapura.
Harus diingat, kesepakatan di negara mereka memang seperti itu. Simbol bunyi 'syin' dalam bahasa Arab diadaptasi mereka menjadi 'sh'. Hal ini terutama dipengaruhi oleh bahasa Inggris, karena sehari-hari mereka juga akrab dengan bahasa Inggris. Dua negara itu bekas jajahan Inggris.
Sementara dalam bahasa Indonesia simbol bunyi 'syin' dalam bahasa Arab diadaptasi menjadi 'sy'. Dalam bahasa Indonesia, tidak banyak bunyi yang disimbolkan oleh dua huruf, hanya ada empat bunyi yakni 'sy', ng, ny, ... . Hanya itu.
Berbahasa yang tertib sebenarnya adalah soal kesepakatan. Apalagi sebagai orang media, kita punya tanggung jawab untuk menggunakan bahasa baku yang tertib, karena menjadi contoh masyarakat.
Lebih miris lagi kalau masyarakatnya lebih pintar, mereka akan menertawakan kita, dan kemudian kita ditinggalkan.***
(Ini catatan tergesa-gesa, di pinggir jalan Arifn Achmad, dalam perjalanan menuju pulang, tidak jauh dari kantor PWI Riau, tergelitik soal 'Insya Allah' atau 'Insha Allah' yang diposting teman-teman. Semoga semakin memantik diskusi yang mempertajam pemahaman dan kepedulian terhadap bahasa indonesia. Salam Takzim).