VOXOpini

Bila Anwar Usman Tidak Mundur, Masih Layakkah Disebut 'Yang Mulia'?

Oleh : Affan Bey Hutasuhut, Wartawan Senior, tinggal di Medan
Minggu, 12 November 2023 18:38 WIB
Affan Bey Hutasuhut

DALAM setiap menangani suatu perkara Mahkamah Konstitusi atau di pengadilan negeri baik Jaksa, pengacara, para terpidana, penggugat/tergugat harus lebih dulu mengucapkan “Yang Mulia Bapak/Ibu Hakim,” jika ingin bertanya atau menjawab pertanyaan yang mulia hakim.

Begitulah adabnya lantaran posisi hakim sebagai salah satu cara untuk menunjukkan rasa hormat kepada hakim karena sosok hakim dilihat sebagai sosok kepercayaan dan kepasrahan masyarakat untuk mendapatkan putusan mengenai perkara yang dihadapi oleh masyarakat.

Pandangan ini boleh jadi benar, karena kedudukan hakim sebagai pemutus keadilan dan kebenaran memang berat. Makanya ulama dahulu banyak yang menghindar jika ditunjuk menjadi hakim pada masa lalu.

Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA melalui laman Rumah Fiqih menyatakan benar sekali bahwa ada sebagian ulama yang shalih di masa lalu, meski mereka benar-benar ahli dalam hukum agama, namun sama sekali tidak tertarik ketika ditawarkan untuk menjadi pejabat negara, yang dalam hal ini untuk menjadi qadhi (hakim).

Al-Imam As-Suyuthi (w. 911 H) menuliskan dalam salah satu kitabnya yang judulnya Dzammul Qadha’ wa Taqallud Al-Ahkam bahwa pernah suatu ketika Khalifah Al-Manshur dari Khilafah Bani Abasiyah memanggil para ulama dan orang shalih untuk menjadi hakim.

Alih-alih menerima tawaran jabatan sebagai qadhi, ternyata tidak satupun dari mereka yang mau memenuhi permintaan Khalifah.

Sufyan Ats-Tsauri yang juga ulama besar malah melarikan diri meninggalkan kota Baghdad demi untuk menghindari sekadar jabatan itu.

Jika tugas hakim memang berat, bagaimana jadinya bila seorang hakim yang juga berkedudukan sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dinyatakan melakukan pelanggaran berat ?

Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allâh bersama hakim selama dia tidak menyimpang, jika dia menyimpang Allâh meninggalkannya, dan syaitanpun menemaninya.” (HR. Tirmizi, no. 1330).

Sebagian ulama berpendapat bahwa banyak hakim masuk neraka, karena penyimpangannya atau karena kebodohannya. Oleh karena inilah perbuatan hakim yang membuat keputusan yang menyimpang dari kebenaran merupakan dosa besar.

Meski tergolong dosa besar, di tanah air ini sanksinya hanya diberhentikan sebagai Ketua MK dan tetap menjadi hakim Konstitusi.

Persoalannya, kendati masih menjadi Hakim MK, secara moril Hakim Anwar Usman akan tetap menerima beban berat, bukan hanya pada saat selama menjalankan tugasnya, tapi juga sampai mengakhiri masa purna tegas.

Masihkah pantas, patut, dan layak menyebutkan “Hakim yang Mulia” terhadap Hakim MK Anwar Usman saat menangani suatu perkara.

Jangan sebut lagi ''Yang Mulia” Kepada Hakim

Mantan Ketua Mhkamah Agung Harifin Tumpa  merasa rishi dengan adanya ungkapan kata “Yang Mulia” kepada hakim tengah mengadili. Makanya ia menyurati Mahkamah Agung beberapa waktu lalu agar menghentikan ucapan Yang Mulia. 

Ia punya alasan untuk menyampaikan masalah tersebut karena sebelumnya sudah melakukan penelitian. ''Penelitian yang kami lakukan, tidak diketemukan dasar hukum berupa peraturan perundang-undangan yang mewajibkan seorang saksi, tersangka, jaksa atau pengacara untuk memanggil hakim dengan sebutan “Yang Mulia” dalam persidangan”.

Beliau menambahkan bahwa penelitian ini dilakukan nya bersama anggota Kerukunan Keluarga Purnabakti Hakim Agung (KKPHA) dan Persatuan Hakim Indonesia (Perpahi). Dari sejumlah pertimbangan yang diajukan yang paling menohok adalah bagi hakim dianggap tidak mencerminkan antara kenyataan dan perbuatan yang mereka lakukan.

Menurutnya seyogiyanya sebutan/sapaan bagi hakim hendaknya seperti halnya sebutan bagi Bapak Presiden dan Para Menteri dengan sebutan “Yang Terhormat Bapak/Ibu Hakim''. ***