- 13/12/2025
Prof. Dr. Mahfud MD dan Prof. Dr. Ellydar Chaidir mengapit kanvas peluncuran buku karya Ellydar pada Seminar Nasional di kampus UIR, Pekanbaru.
PEKANBARU (VOXindonews) - Mantan Menkopolhukam Prof. Dr. Mahfud MD mengatakan gagalnya reformasi, khususnya dalam pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), disebabkan oleh pembelokan dari demokrasi ke oligarki.
Pernyataan itu disampaikan Prof. Mahfud MD dalam Seminar Nasional 'Kebijakan dan Strategi Pembangunan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045' di Auditorium Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru, Sabtu (13/12/2025).
Seminar ini dilaksanakan dalam rangka memasuki masa pensiun Prof. Dr. Ellydar Chaidir, SH, MH, guru besar Hukum Tata Negara, UIR. Emiritus Prof. Dr. Ellydar Chaidir genap usia 70 tahun pada 1 Januari 2026.
Selain Mahfud MD, turut menjadi nara sumber Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M. Sc, guru besar politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Detri Karya, SE, MM, guru besar ekonomi dan manajemen UIR, dan Prof. Husnul Nausarian, MSc. PhD, guru besar teknik geologi UIR.
Menurut Mahfud, pada 10 tahun pertama reformasi, berjalan cukup bagus. Kasus-kasus korupsi tidak banyak muncul. Demokrasi berjalan dengan baik. Tapi setelah 2008, mulai berbelok. Terjadi politik transaksional, jual beli hukum dan lainnya.
''Jadi perlu di re-reformasi lagi. Atau ditransformasi lagi,'' ujar guru besar Hukum Tata Negara yang juga anggota Komisi Percepatan Reformasi Polri itu.
Faktor penghambat saat ini, kata Mahfud, penegakan hukum. Padahal, penegakan hukum adalah srategi utama. Semua penegak hukum seperti pengacara, hakim, polisi, jaksa harus berubah. Pemerintahan harus restroratif yakni penyelesaian masalah pada pemulihan keadaan, bukan hanya hukuman.
Untuk itu, perlu karakter dan rekrutmen yang benar. Perlu keteladanan. Perlu huswatun hasanah.
''Pemerintah atau pemimpin tidak hanya memberikan nasehat, tapi juga memberikan contoh, atau keteladanan,'' ujarnya.
Sementara, Prof. Dr. Achmad Nurmandi, M.Sc, mengatakan keberlanjutan itu bermakna bahwa memanfaatkan yang ada tapi harus tersisakan untuk masyarakat yang akan datang.
''Tidak cukup dengan mereforestasi untuk medeforestasi. Tapi juga memperbaiki kelembagaannya,'' ujarnya.
Menurut Prof. Achmad Nurmandi, alam itu punya keterbatasan. Bisa saja tambang, hutan, dihabisi. Tapi alam punya kapasitas.
''Kalau dipaksakan, yang korban bukan alam, tapi manusianya,'' tegasnya.
Prof. Dr. Detri Karya lebih menekankan pada pengembangan ekonomi dan kebermanfaatan untuk masyarakat, khususnya di Provinsi Riau. Sebagai contoh, PTPN IV Regional III Riau tidak hanya mengelola perkebunan, tapi termasuk turunannya.
''Bukan seperti sekarang, turunannya dikerjakan PT Wilmar. Jika PTPN IV yang mengelola, bisa mempekerjakan manusia lebih banyak dan memberikan dampak ke masyarakat Riau,'' ujarnya.
Contoh lain, proyek-proyek pemerintahan di Riau hanya dikerjakan oleh 40 persen pengusaha Riau. Seharusnya lebih banyak diberikan ke pengusaha Riau. Begitu pula dengan redistribusi lahan yang lebih banyak ke pengusaha, daripada ke masyarakat.
''Ini harus diperbaiki. Pembinaan dari pemerintah perlu. Dan, sebelum tahun 2030 harus selesai,'' ujarnya.
Sedangkan Prof. Husnul menegaskan bahwa sumber daya alam Riau, khususnya migas, masih tersedia sampai 2045. Izin Pertamina Huku Rokan (PHR) akan berakhir 2041.
''Kita harus mempersiapkan diri, untuk mengambil alih kelola PHR pada 2041,'' tegasnya. (FJ)
Reformasi gagal pembelokan demokrasi ke oligarki seminar nasional UIR Mahfud MD VOXindonews Lazada Shopee