VOXOpini

Menyalahkan Hujan di Tengah Dosa Ekologis Pemerintah

Oleh : Albion Zikra , Direktur Riset VOXinstitute
Sabtu, 13 Desember 2025 06:11 WIB
Albion Zikra

PADA abad ke-16 hingga ke-18, bangsa Eropa pernah melakukan kesalahan kolektif: mereka menuduh tomat sebagai buah mematikan. Padahal racun sesungguhnya berasal dari piring perak bangsawan yang melepaskan timbal saat bersentuhan dengan keasaman tomat.

Kesalahan tafsir ini berlangsung lama, diwariskan turun-temurun, dan menegaskan satu hal: kekuasaan yang malas berpikir cenderung lebih suka menyalahkan yang tampak di permukaan daripada membongkar struktur kerusakan yang mereka pelihara sendiri.

Kisah itu, betapa ironisnya, tampak hidup kembali dan related dengan penanganan banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Setiap tahun pemerintah membuat pernyataan yang nyaris fotokopi:
“Hujan ekstrem.”
“Kondisi alam tidak bisa dilawan.”
“Ini bencana hidrometeorologis.”

Padahal kita tahu: hujan hanyalah tomat. Yang beracun adalah “piring perak” milik elite kekuasaan—piring yang kini bernama konsesi hutan, izin tambang, pelepasan kawasan, dan pembiaran sistematis terhadap pembalakan yang dilindungi oleh jaringan ekonomi-politik.

Bencana yang Diproduksi Negara

Banjir di Aceh bukan semata air yang turun terlalu deras, tetapi air yang kehilangan pegangan karena hutan sudah dirogoh habis. Banjir di Sumut bukan fenomena alam, melainkan fenomena perizinan yang dibisukan. Banjir dan longsor di Sumbar bukan takdir geografis, melainkan takdir politik—hasil dari keputusan-keputusan yang mengutamakan rente, bukan keselamatan warga.

Ketika negara terus menuding “alam”, kita sebetulnya tahu dan melihat siapa yang sesungguhnya ikut memproduksi bencana. Kita menyaksikan bagaimana sebagian pejabat menggadaikan kecerdasannya demi kenyamanan para mafia hutan.

Mereka menandatangani dokumen dengan wajah serius seolah sedang bekerja untuk rakyat, padahal yang mereka lakukan hanyalah mengukuhkan dominasi kelompok-kelompok yang hidup dari hancurnya tutupan hutan.

Dan lebih berbahaya lagi: setelah bencana terjadi, pemerintah kembali tampil sebagai pahlawan kesiangan—seolah-olah mereka bukan bagian dari mesin yang sejak awal membuka pintu kerusakan. Negara menjadi dokter yang memberi obat kepada pasien yang ia racuni sendiri.

Politik yang Mencabut Akar Masalah

Kita membutuhkan politik yang berani menyentuh akar persoalan, bukan sekadar memoles pinggiran. Politik yang tidak tunduk pada tekanan para pemilik modal hutan. Politik yang tidak latah memainkan narasi “alam marah”, padahal manusialah yang menjual rumahnya sendiri demi keuntungan jangka pendek.

Tanpa keberanian untuk menegakkan governance yang bersih dari pengaruh korporasi rakus, seluruh wacana penanggulangan bencana hanya akan menjadi litani palsu. Kita tidak bisa berharap pada pembangunan tanggul jika hulu sungai digergaji setiap hari. Kita tidak bisa berharap pada edukasi mitigasi jika negara sendiri menjadi mitra bisnis ketidakpastian ekologi.

Penutup

Pada akhirnya, masyarakat khususnya di daerah bencana hanya bisa berharap satu hal: semoga pemerintah kita suatu hari menyadari bahwa yang beracun bukan tomat, bukan hujan, dan bukan alam—tetapi justru “piring perak” tempat mereka makan kuasa setiap hari. ***

Menyalah hujan dosa ekologis pemerintah bencana Sumatera VOXindonews Lazada Shopee