VOXOpini

Saya pernah ''menikam'' bapak dari belakang

Oleh : Sutrianto, Mantan Ketua PWI Riau
Jum'at, 03 Desember 2021 11:42 WIB
Sutrianto

SELEPAS dari SKK Bahana Mahasiswa Universitas Riau, saya langsung nge-job di SKM Genta sebagai wartawan sungguhan. Di surat kabar mingguan yang berkantor di lantai dua leretan ruko di Pasar Pusat Pekanbaru ini, saya di-pemred-i oleh Pak Muslim Kawi. Wartawan yang pernah bekerja bersama Pak Muslim pasti merasakan betapa sangat telitinya Pak Muslim dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pemimpin redaksi. Tidak ada satu pun berita yang lolos dari meja beliau.
     Bukan hanya singgah di meja saja, tetapi semua berita yang kala itu masih diketik secara manual menggunakan metik tik itu semua dia baca dengan sangat teliti. Tidak heran jika naskah-naskah berita itu penuh coretan sebelum dibawa ke bagian setter untuk dikomputerkan. Walaupun berita-berita itu sudah lolos dari para redaktur, tetap saja berita-berita itu harus melalui meja Pak Muslim, dan kemudian keluar dari meja Pak Muslim penuh dengan coretan.
     Sebagai salah satu redaktur di Genta -- saya membawahi desk (meja) daerah dan hiburan/budaya -- terkadang saya merasa jengkel juga dengan hasil coretan-coretan Pak Muslim ini. Saya jengkel bukan karena naskah yang sudah saya edit itu dicoret-coret, sebab toh itu memang tanggung jawab beliau, tetapi karena ada beberapa kosa kata yang bagi Pak Muslim sangat haram digunakan dalam tradisi penulisan jurnalistik. Sebagai wartawan senior yang sangat ketat dalam menggunakan prinsip "ekonomi bahasa", beliau memang type wartawan yang tidak mau bertele-tele dalam penulisan berita. Apalagi sebagai mantan wartawan Antara yang sangat ketat dalam penulisan berita -- singkat, padat, efisien -- Pak Muslim sangat anti dengan gaya penulisan yang berirama, banyak gaya. Gaya penulisan "jurnalistik sastrawi" yang digunakan Tempo itu sangat tidak disukai Pak Muslim. Pak Muslim lebih suka gaya lugas, tegas, langsung, singkat, padat, efektif dan efisien. Model penulisan jurnalistik seperti ini memang 100% copyright Kantor Berita Antara, di mana Pak Muslim pernah menjadi kepala bironya untuk wilayah Riau.
     Sebagai wartawan Antara, Pak Muslim betul-betul sangat konsisten dengan pakem 5-W-1-H model limas terbalik itu. Pendeknya, 5-W-1-H itu harus tuntas terjawab di lead berita. 100% straight news. Penjelasan di alinea berikutnya yang hanya sekedar tambahan informasi, bagi Pak Muslim sudah tidak begitu penting lagi. Sebuah berita harus ditulis sependek mungkin, dan dalam berita sependek itu semua informasi harus terjelaskan di dalamnya. Tidak boleh ada lenggang lenggoknya, tak boleh ada dramatisasi.
     Model jurnalistik Pak Muslim inilah yang dalam beberapa hal kurang nyambung dengan gaya jurnalistik saya. Sebagai sarjana bahasa dan sastra Indonesia -- saya lebih condong ke sastra -- saya mempunyai style sendiri, yang menurut anggapan saya lebih mengarah ke model "jurnalistik sastrawi" itu, dengan gaya penulisan "nafas panjang". Saya lebih suka gaya depth news, sebuah model penulisan jurnalistik yang mengawinkan fakta, data dan informasi dengan sastra. Fakta, data dan informasi diracik sedemikian rupa sehingga menghasilkan sebuah kisah yang sangat ketat menjaga alur, plot.
     Sebagai wartawan, Pak Muslim tentu sangat mengenal model penulisan straight news, depth news, features, reportase, dan sebagainya. Pak Muslim bukannya anti dengan gaya penulisan seperti itu. Jika beliau kembali dari kunjungan mengikuti perjalanan pejabat tertentu, beliau pasti membawa oleh-oleh berupa tulisan reportase -- laporan pandangan mata -- amat panjang, berjela-jela, berseri-seri, berminggu-minggu (sebab koran kami memang mingguan). Tetapi, ya itu tadi, tulisan beliau itu langsung, padat, efektif dan efisien. Tidak ada "orang menari" di dalam tulisan beliau. Jadi, walaupun sebuah karya jurnalistik ditulis dalam bentuk depth news, features, reportase, harus tetap lugas, tegas, langsung, singkat, padat, efektif dan efisien.
     Begitulah .... Akhirnya saya lebih banyak menahan perasaan jika naskah-naskah saya keluar dari meja Pak Muslim. Tulisan-tulisan saya yang saya upayakan sedemikian lembut, dengan irama yang terkadang melankolis, dramatis, mendayu-dayu, penuh lenggang-lenggok, begitu keluar dari meja Pak Muslim, tulisan-tulisan saya itu berubah menjadi robot.
     Jangan pernah ada pembuka kalimat seperti ini: "adalah sebuah keberuntungan untuk ...." Kalimat itu akan berubah menjadi "Sebuah keberuntungan untuk ...." Kosa kata /adalah/ akan segera dibunuh menggunakan senjata berupa spidol merah oleh Pak Muslim. Anda dapat merasakan nilai "rasa" pada dua kalimat contoh di atas.
     Begitulah ... jangan pernah ada kosa kata /dari/, /yang/,/oleh/, /maka/, /walaupun/, /adalah/, /merupakan/, /tapi/, /ini/, /itu/ dan beberapa kata sambung lainnya, yang kosa kata-kosa kata itu sebenarnya merupakan semacam penyedap rasa, semacam Ajinomoto, begitu, dalam sebuah tulisan yang menganut paham "jurnalistik sastrawi" itu tadi. Tapi, bagi Pak Muslim, itu adalah kosa kata-kosa kata haram-jadah.
     Dalam tradisi penulisan berita yang bersifat "hemat kata", sebuah berita harus padat, singkat, langsung, efisien dan efektif, paham Pak Muslim itu memang tidak ada salahnya. Apalagi di zaman itu para wartawan yang berkantor di Jakarta atau daerah lainnya, yang pengiriman beritanya menggunakan faks atau telegram, berita memang harus ditulis sesingkat mungkin. Sebab panjang-pendeknya sebuah berita akan berpengaruh pada biaya pengiriman (faks atau telegram). Dan model penulisan jurnalistik seperti inilah yang dipakai oleh Kantor Berita Antara.
     Begitulah. Saya lebih kurang tiga tahun bekerja bersama Pak Muslim sebelum akhirnya saya pindah ke Riau Pos. Pada tahun-tahun awal, saya boleh dikatakan cukup "menderita" secara batin karena tulisan-tulisan saya sering diobrak-abrik oleh Pak Muslim. Tetapi, momen itu datang, dan inilah "dosa" yang sering saya lakukan kepada Pak Muslim. Pada tahun 1990, SKM Genta diambil alih oleh manajemen Basrizal Koto bekerja sama dengan manajemen Surat Kabar Harian Singgalang. Sebelum diambil alih oleh Basrizal Koto, SKM Genta dicetak di percetakan Setia Budi di Jalan HOS Cokro Aminoto Pekanbaru. Setelah diambil alih, Genta dicetak di percetakan Singgalang di Padang. Format Genta pun berubah, dari format tabloid, berubah menjadi model plano, yaitu dari 7 kolom berubah menjadi 9 kolom.
     Setiap hari Sabtu, salah seorang di antara kami -- saya atau Abu Bakar Siddiq -- berangkat ke Padang dengan membawa naskah-naskah yang sudah dicoret-coret oleh Pak Muslim. Di Padang, naskah-naskah ini kemudian di-komentar-kan, di-lay-out, difilmkan, dan kemudian naik cetak. Tugas kami mengawasi proses produksi ini sesuai yang kami harapkan.
     Di sinilah akal bulus saya itu muncul. Ceritanya, waktu penulisan berita yang masih menggunakan mesin ketik itu, kami diwajibkan membuat timbalan, atau tindasan menggunakan kertas karbon. Nah, waktu naskah-naskah ini kami bahwa ke Padang, khusus naskah yang menjadi tanggung jawab saya, yang saya kirimkan adalah naskah timbalan atau tindasan. Jadi, bukan naskah-naskah yang sudah dicoret-coret oleh Pak Muslim. Waduh, jahat saya ya ....
     Pada waktu itu saya berpikir bahwa yang dicoret-coret oleh Pak Muslim itu bukanlah sesuatu yang bersifat substansial. Itu hanya menyangkut bahasa, tidak menyangkut masalah isi. Jadi, saya pikir lagi, bukan dosa besar jika saya "tikam" Pak Muslim dari belakang. Begitulah kejahatan itu berlangsung sekian lama hingga akhirnya saya keluar dari Genta.
     Walaupun rasanya perbuatan saya itu tidak akan mencelakai Pak Muslim,  tetapi setiap kali saya bertemu dan melihat Pak Muslim, saya tetap merasa bersalah dan berdosa. Saya merasa telah mengkhianati Pak Muslim. Anehnya, selama saya "mengkhianati" Pak Muslim, beliau tidak pernah menegur atau memarahi saya. Bahkan hingga hari wafatnya beliau. Apakah Pak Muslim tidak pernah membaca lagi ya naskah-naskah yang sudah menjadi koran itu ....
     Terlepas dari semua itu, sebagai seorang wartawan, saya sangat berhutang budi kepada Pak Muslim. Berkat didikan beliaulah saya bisa menjadi seorang wartawan profesional seperti sekarang ini. Sebagai seorang wartawan, cita-cita tertinggi menjadi pemimpin redaksi sudah saya capai, bahkan lebih tinggi dari itu. Saya pernah menjadi pemimpin umum di salah satu media terbesar di Sumatera, Riau Pos. Saya juga sudah pernah menjadi ketua organisasi wartawan terbesar untuk tingkat provinsi, PWI Riau.
     Sedikit banyaknya semua itu ada peran Pak Muslim dalam menghantarkan saya ke puncak-puncak karir itu. Kini, beliau telah pergi. Hanya doa yang bisa kami berikan untuk Bapak, semoga Pak Muslim husnul khatimah. Amiin ...
     Maafkan saya, Pak, karena saya pernah "menikam" Bapak dari belakang ....