- 21/11/2024
TAK terdengar lagi dentuman musik keras dari lounge, bar, pub dan cafe. Tak terdengar lagi tawa dan cekikikan pasangan bule yang sedang merokok dan menenggak minuman.
Tak tercium lagi bau minuman keras, wine dan bir. Tak terlihat lagi para wanita berpakaian minim dan menjajakan diri di pinggir jalan. Tak tampak lagi orang lalu lalang di sepanjang jalan.
Ya, tak ada lagi hiruk pikuk di sepanjang Jalan Raya Legian, Kuta, Kabupaten Badung, Bali, itu. Semua terlihat sepi. Banyak toko dan bangunan yang sudah lama tutup. Sebagian terpampang pengumuman dikontrakan.
Lampu-lampu jalan juga redup. Terasa agak gelap karena kelab-kelib lampu hotel, lounge, pub, bar dan cafe tak ada lagi. Legian yang dulunya jadi pusat aktifitas dan hiburan malam wisatawan mancanegara, kini tak semeriah dulu lagi.
Begitulah pemandangan akhir pekan ini di Legian. Hanya ada satu dua hotel, lounge, pub, bar dan cafe yang buka. Itu pun sepi pengunjung. Nyaris tak ada bule yang tampak. Hanya wisatawan nusantara yang minum dan menikmati musik live.
Wisatawan di Tugu Peringatan Bom Bali
Pengunjung yang agak ramai di Tugu Peringatan Bom Bali. Mereka berfoto dengan latar tugu yang dihiasi lampu warna-warni. Mereka juga membaca nama-nama korban yang meninggal akibat serangan bom tersebut.
Seperti diketahui, bom Bali terjadi 12 Oktober 2002 silam. Aksi teroris terbesar di Indonesia itu menewaskan setidaknya 202 korban jiwa dari 20 negara dan 209 korban cedera.
Pukul 23.00 WITA, lampu-lampu pemanis tugu itu dipadamkan. Tapi lounge, pub, bar dan cafe masih buka sampai pukul 01.00 dini hari. Sepertinya ada pembatasan waktu.
Di seputaran Pantai Kuta, tak jauh dari Legian, malahan jam 22.00 WITA sudah tutup. Sangat sepi. Hanya satu dua toko ritail yang buka dengan menjual kopi instan dan diminum di luar toko. Kuta yang menjadi andalan wisata Bali, malam hari seperti kota mati.
Yang agak ramai di kawasan wisata Canggu, Kuta Utara. Banyak pelancong yang menyewa cottage di bibir pantai. Mereka bekerja dari cottage sambil belajar selancar (surfing). Pantai Batu Bolong, Canggu, cocok buat peselancar pemula karena ombaknya tidak begitu kuat.
Sewa cottage juga tidak terlalu mahal. ''Hanya Rp 3,5 juta sebulan. Itu pun sudah masuk sarapan, '' ujar Akbar Arief (27), anak muda pekerja Informasi Teknologi (IT) di Malaysia yang sudah empat bulan bekerja dari Canggu.
Tapi secara umum Bali terpuruk sejak Pandemi Covid 19 melanda dunia, termasuk Indonesia, hampir dua tahun lalu. Wisatawan mancanegara dan nusantara, tak ada lagi yang datang. Padahal, masyarakatnya 90 persen menggantungkan hidup dari pariwisata.
Kabupaten Badung sebagai pusat pariwisata Bali, ekonominya lumpuh. APBD Kabupaten Badung yang dulunya mencapai Rp 10 triliun, anjlok ke titik nadir. ''Badung menjadi daerah termiskin di Indonesia, '' ujar I Nyoman Budarta, seorang pemandu wisata Bali.
Saat Pandemi Covid 19 melanda, Nyoman memilih pulang kampung ke Bali Utara. Dia hidup bertani. Namun hasil pertanian tidak memberikan pendapatan yang mencukupi. Bulan Oktober lalu, ketika Bali kembali dibuka untuk pendatang, Nyoman kembali ke Badung menjalani profesi lamanya.
"Kalau ada yang mengira kalian membuang uang karena datang ke Bali, itu keliru. Kalian memberi kami harapan untuk keluar dari tekanan ekonomi yang sangat berat," kata Nyoman kepada rombongan studi jurnalistik Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau.
Wisatawan dengan latar sunset di Tanah Lot
Hal yang sama dialami Ibuk I Wayan atau biasa dipanggil Ibuk Arnis. Pemilik kedai di Pantai Tanah Lot ini sempat bertani di kampung. Tapi penghasilan ibu tiga anak ini tidak mencukupi. Dua bulan lalu, dia balik ke Tanah Lot. Membuka kembali kedai minuman dengan sejumlah meja di bibir pantai Tanah Lot.
''Maaf, agak sombong saya, kalau dulu bisa dapat Rp 150 juta sampai Rp 250 juta seminggu, '' ujarnya. Kedai Ibuk Arnis berada di posisi strategis (sunset terraces). Kini, penghasilannya belum seberapa karena wisatawan belum banyak.
Seorang Sumatera yang sudah lama bernukim di Bali, Zarni menyebutkan hotel berbintang banting harga. Hotel bintang lima memasang tarif sampai Rp 450 ribu samalam. ''Daripada tidak terisi,'' ujarnya.
Bukti hotel-hotel sudah lama tutup dan tidak operasional tergambar ketika kita masuk kamar hotel. Air di kran kamar mandi mengeluarkan bau tak sedap. Kita terpaksa melepaskan air kran agak lama sebelum dipakai.
Kedatangan rombongan studi jurnalistik PWI Riau yang berjumlah 56 orang, termasuk rombongan awal yang kembali menggerakkan usaha kecil di Pulau Dewata.
''Mulanya kita kesal ketika pejabat hanya mempromosikan Bali. Tapi setelah kita lihat kenyataan, memang kasihan kita dengan Bali, '' kata Anthony Harry, salah seorang rombongan PWI Riau.
I Nyoman sangat gembira atas kehadiran rombongan PWI Riau. Suaranya bergetar saat melepas kepulangan rombongan di pintu bandara setelah lima hari mendampingi. Ada kesedihan yang disembunyikannya.
Nyoman berpesan. "Bali aman, datanglah kemari. Kedatangan anda sangat berarti bagi kami," ujarnya. Siap Bli. ****