- 21/11/2024
MAK-MAK dan para gadis remaja sibuk menyiapkan makanan sejak malam hari. Berbagai jenis sambal dan lauk pauk mereka masak. Mulai dari goreng telur bulat, ikan kapiek, ikan pantau, ikan patin, ikan sarden, goreng teri dengan keripik balado, sampai sambal ombu-ombu (serundeng) dan gulai cipuik. Sambal dan lauk pauk ini menjadi menu nasi bungkus.
Tidak itu saja, mereka juga menyiapkan kue-kue dan makanan pelengkap lainnya. Seperti lapek bugih, onde-onde, godok timbul, godok pisang, lapek pisang, goreng pisang, silomak bokucuang, dan sebagainya. Penganan ini sebagai makanan pelengkap nasi bungkus.
Pagi-pagi, mak-mak dan gadis remaja itu sudah sibuk mempersiapkan nasi bungkus dan penganan lainnya. Mak-mak juga menyiapkan nasi bungkus untuk dibawa bapak-bapak. Mereka semua bersiap-siap berangkat ke hutan untuk melakukan maelo jalur. Sekitar pukul 07.00 WIB, mereka berangkat bersama-sama. Nyaris seluruh isi kampung berangkat ke hutan, kecuali anak-anak.
Maelo jalur adalah bagian dari rangkaian tradisi Pacu Jalur yang sudah mendarah daging di Rantau Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau. Rangkaian Pacu Jalur itu diawali dengan mencari kayu yang akan dijadikan jalur atau perahu besar sepanjang 30-35 meter. Perahu besar ini akan memuat 45-60 orang anak jalur atau pendayung.
Maelo jalur jadi ajang mencari jodoh.
Dulu, mencari kayu besar yang memiliki keliling 3 meter itu tidaklah terlalu sulit. Di hutan sekeliling Rantau Kuantan mulai dari mudik hingga ke hulu ada. Kayu yang dicari jenis meranti atau banio dan marsawa. Proses pencarian dilakukan oleh beberapa orang yang paham dengan kayu jalur. Lalu mereka melapor ke ketua jalur. Dengan didampingi seorang pawang atau dukun jalur, mereka kembali ke hutan untuk melakukan penebangan.
Setelah kayu ditebang, baru kegiatan maelo jalur dilakukan. Ratusan orang warga kampung, laki-laki dan perempuan, tua dan muda, tumplek di lokasi penebangan setelah berjalan berkilo-kilo meter turun naik bukit, lembah dan sungai. Ada juga laki-laki yang datang dari desa lain. Maklum, maelo jalur adalah momen yang ditunggu-tunggu karena menjadi ajang mencari jodoh.
Sebelumnya, kayu telah diikat dengan rotan besar atau manau. Lalu, secara bersama-sama, dengan posisi yang bercampur laki-laki dan perempuan, kayu besar dielo (ditarik). Nah, saat menarik itulah, kadangkala manau putus atau sengaja diputus, sehingga seluruh yang menarik terjatuh, berdempetan, dan berhimpitan. Peristiwa ini sangat mengasyikkan.
‘’Pada saat itu bertemu jodoh antara anak gadis dan anak bujang. Ada juga bertemu jodoh yang sudah berumah tangga. Sehingga belakangan terjadi perceraian,’’ kata Hj. Eltikasal, warga Desa Pulau Aro, Kecamatan Kuantan Tengah, Kuansing, mengenang masa lalunya.
Kini, momen maelo jalur itu sudah hilang. Otomatis ajang mencari jodoh pun hilang. Sebab, sudah susah mencari kayu besar di hutan sekitar pemukiman penduduk. Menurut Anasril, tokoh masyarakat Pulau Aro, Kuantan Tengah, untuk membuat jalur baru bernama SimPATI tahun ini, mereka mendapatkan kayu di hutan lindung Bukit Batabuh, sekitar 45 km dari Telukkuantan, ibukota kabupaten. Itupun harus menggunakan speedboat sekitar 3 jam setelah melakukan perjalanan darat.
Proses pembuatan jalur.
Untuk membawa kayu jalur dari lokasi penebangan ke pinggir jalan, digunakan alat berat loader. Dari pinggir jalan ke kampung, menggunakan truk Trado. Alat berat dan truk itu disewa ke pihak swasta dengan harga Rp 70 juta.
’'Sejak tahun 2.000-an, hampir tak ada lagi orang maelo jalur. Semua sudah menggunakan alat berat yang disewa. Di samping mencari kayu sudah susah, lokasinya pun sangat jauh. Jadi, tak mungkin lagi maelo jalur,’’ ujar Anasril.
Berbeda dengan warga Desa Kampung Baru, Kenegerian Sentajo, Kecamatan Sentajo Raya. Mereka masih memiliki Hutan Lindung Kenegerian Sentajo seluas 350 hektar. Hutan lindung ini dijaga bersama-sama oleh masyarakat. Untuk mengambil kayu jalur harus mendapat izin dari Datuk yang berempat dan Dinas Kehutanan setempat.
Menurut Ketua Jalur Pangeran Keramat Tangan Biso, Samsuri, jarak hutan dari pemukiman penduduk sekitar 7 km. Tahun ini mereka membuat jalur baru dengan kayu meranti. Kegiatan maelo jalur diganti dengan makan bersama. Ribuan warga Sentajo hadir di tengah hutan tempat kayu di tebang. Tapi, kayu jalur kemudian dibawa dengan truk Trado ke kampung.
Sampai di kampung, kayu dibentuk menjadi jalur. Untuk membuat jalur ini tidak semua orang, tapi ada ahlinya. Warga Desa Kampung Baru memakai tukang jalur Khairun, 63 tahun, asal Inuman. Khairun sudah sangat berpengalaman. Beberapa jalur yang dibuatnya pernah menjuarai Pacu Jalur di Tepian Narosa, Telukkuantan, antara lain Sialang Sokok Putri Mandi dan Siposan.
Melayur jalur biasanya dihadiri pejabat dan tokoh.
Untuk membuat jalur Pangeran Keramat Tangan Biso, Khairun dibantu tiga orang pekerja. Pekerjaan memepat kayu, melobangi kayu sedalam 30 cm dan lebar 85 cm, sampai pekerjaan finishing memakan waktu hampir satu bulan. Untuk pekerjaan itu, Khairun dibayar sekitar Rp 25 juta.
Dalam proses pembuatan jalur itu, dilaksanakan pula malayur jalur. Melayur adalah pekerjaan mendiang jalur dengan api yang tujuannya agar ruang isi jalur lebih lapang. Biasanya, upacara melayur jalur ini mengundang pejabat dan tokoh masyarakat. Saat itulah, para pejabat dan tokoh memberikan sumbangan untuk pembuatan jalur.
Bagi masyarakat Ratau Kuantan, Pacu Jalur sudah menjadi darah daging. Maklum, mereka hidup di sepanjang Sungai Indragiri atau Batang Kuantan. Hampir tiap hari mereka mengayuh sampan untuk menyeberang sungai pergi ke ladang atau mencari ikan. Ketika Pacu Jalur dilombakan, merupakan semangat dan motivasi tersediri bagi masyarakat Rantau Kuantan.
Dikutip dari Wikipedia, Pacu Jalur sudah dikenal sejak abad ke-17. Awalnya, jalur merupakan sarana transportasi menyusuri Batang Kuantan dari Hulu Kuantan ke Cerenti di bagian hilir Sungai Kuantan. Karena transportasi darat belum berkembang pada masa itu. Jalur digunakan untuk mengangkut hasil bumi seperti buah-buahan dan tebu.
Dalam perkembangannya, perahu transportasi berbentuk memanjang ini sengaja dihias dengan unsur budaya setempat berupa kepala ular dan buaya. Seiring perjalanan waktu, jalur berubah menjadi sosiokultural masyarakat untuk menyelenggarakan festival. Apalagi, jalur sudah menjadi jalur para bangsawan untuk menyambut tamu-tamu terhormat para raja (dan kemudian Sultan) yang hendak berkunjung ke Rantau Kuantan.
Bupati Kuansing Suhardiman Amby akan buat Perda untuk antisipasi langkanya kayu jalur.
Pada masa penjajahan Belanda, Pacu Jalur digunakan sebagai pemeriah untuk memperingati hari lahir Wilhelmina (Ratu Belanda) yang jatuh pada 31 Agustus setiap tahun. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda, Pacu Jalur sudah dilaksanaan oleh penduduk setempat untuk meperingati hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi, Idul Fitri, atau Tahun Baru Islam. Selanjutnya, setelah kemerdekaan, Pacu Jalur digunakan untuk merayakan Hari Kemerdekaan RI 17 Agutus setiap tahun.
Sekarang, Festival Pacu Jalur dilaksanakan sekitar tanggal 23-26 Agustus setiap tahun. Menurut Kepala Dinas Kebdayaan dan Pariwisata Kuansing, Azhar Ali, Pacu Jalur sudah dikenal seantero dunia. Pacu Jalur sudah masuk dalam even tetap kalender pariwisata nasional. Tahun 2014, Pacu Jalur ditetapkan sebagai Warisan Budaya Nasional Takbenda oleh Kemendikbud Ristek RI.
Festival Pacu Jalur juga menjadi salah satu dari 110 even dalam Karisma Event Nusantara (KEN) Tahun 2023. Menggabungkan unsur olahraga dan seni yang sangat indah, Festival Pacu Jalur menjadi salah satu festival budaya terbaik di Indonesia yang sukses menarik wisatawan. Festival Pacu Jalur berhasil menggaet 1,3 juta orang wisatawan, baik lokal, nasional dan mancanegara pada tahun 2023.
Tahun 2024 ini, kata Azhar, pihaknya telah mempromosikan Pacu Jalur melalui berbagai media sosial. Sudah ada 24 juta orang yang menonton video Pacu Jalur. Diharapkan wisatawan yang menonton langsung Pacu Jalur di Tepian Narosa nantinya lebih banyak dari tahun lalu, terutama wisatawan dari Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura.
Pihaknya telah menyiapkan 472 kamar hotel dan penginapan. Selain itu diantisipasi dengan homestay. Ada 70 rumah yang siap menampung tamu dari luar. Pemerintah daerah setempat juga membenahi lokasi Pacu Jalur di Tepian Narosa, Telukkuantan. Detail Engineering Design (DED) sudah disiapkan dan dibutuhkan biaya Rp 32 miliar untuk pembenahan. Namun belum ada jawaban dari pemerintah pusat.
Bupati Kuansing Suhardiman Amby bersama peserta Ekspedisi Jurnalistik PWI Riau.
Bupati Kuansing Suhardiman Amby berharap Pacu Jalur lebih bergaung di Indonesia bahkan mancanegara. ‘’Harapannya, dengan semakin dikenal masyarakat luas dengan tradisi Pacu Jalur, baik nasional maupun internasional, diharapkan meningkatkan kunjungan wisatawan ke Kuansing,’’ujarnya ketika menerima kunjungan Tim Ekspedisi Jurnalistik PWI Riau di Telukkuantan baru-baru ini.
Suhardiman juga sedang menyiapkan Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur tentang pengelolaan hutan lindung, hutan adat atau hutan kemasyarakatan untuk menjamin ketersediaan bahan baku kayu jalur. Sebab, jika hal ini tidak diantisipasi dengan regulasi, bukan mustahil suatu saat, Pacu Jalur akan tinggal kenangan.
Bayangkan, tahun ini ada sekitar 50 jalur baru yang dibuat. Artinya, ada 50 batang kayu berumur puluhan atau ratusan tahun yang ditebang. Kadangkala di suatu tempat ditebang sampai lima batang. Tapi yang lain tidak bisa dijadikan jalur, sehingga mubazir. Lama-lama bahan baku kayu ini akan habis jika tidak ditanam dan disiapkan.
Maka, jangan heran, bila suatu saat nanti, Pacu Jalur memakai perahu atau jalur dari bahan fiber glass. Jika itu terjadi, maka maelo jalur sudah hilang, malayur jalur tak ada lagi. Ajang mencari jodoh dan pacaran alias badombai tinggal di Tepian Narosa. Kita tak ingin ini terjadi. ***
Pacu Jalur Festival Pacu Jalur Maelo Jalur Melayur Jalur Kuantan Kuansing KEN 2023 Wisman VOXindonews Jual Beli Online Lazada Shopee