VOXOpini

Pagar Laut 30 Km, Siapa Bertanggung Jawab?

Oleh : Irvan Nasir , Pengamat Sosial dan Politik
Sabtu, 11 Januari 2025 18:04 WIB
Irvan Nasir

TANGERANG, sebuah wilayah yang dikenal sebagai gerbang metropolitan, kini menjadi sorotan nasional. Bukan karena inovasi atau prestasi, tetapi karena sebuah pagar bambu bak labirin sepanjang 30 kilometer yang berdiri angkuh di garis pantainya.

Pagar ini bukan hanya sekadar penghalang fisik, tetapi juga simbol ironi yang menusuk: bagaimana mungkin proyek sebesar ini bisa muncul tanpa ada yang tahu.

Bayangkan, kehidupan para nelayan tradisional yang bergantung sepenuhnya pada laut untuk mencari nafkah. Setiap pagi, mereka berlayar, menantang ombak untuk membawa pulang hasil tangkapan.

Namun, pagar tersebut kini menjadi batas tak kasat mata antara mereka dan harapan hidup. "Kami seperti terpenjara di tanah sendiri," kata seorang nelayan dengan suara getir.

Ironisnya, ketika mereka meminta penjelasan, jawaban dari para pejabat di berbagai tingkat pemerintahan seragam: “Kami tidak tahu.” Benarkah pagar sepanjang 30 kilometer ini bisa muncul begitu saja, seperti cendawan di musim hujan, tanpa ada satu pun pihak yang bertanggung jawab?

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Dari tingkat kelurahan hingga kementerian, jawaban atas pertanyaan tentang asal-usul pagar ini hanyalah kebingungan kolektif. Pemerintah daerah mengaku tidak pernah mengeluarkan izin.

Pemerintah provinsi mengelak dengan dalih bahwa itu bukan kewenangan mereka. Bahkan kementerian terkait menyatakan belum mendapatkan laporan.

Ketidaktahuan ini tampak lebih seperti seni daripada ketidaksengajaan. Mungkinkah ini adalah contoh nyata bagaimana ketidaktahuan bisa diorkestrasi dengan begitu apik?

Indonesia sering membanggakan diri sebagai negara maritim dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Namun, di Tangerang, kebijakan yang seharusnya melindungi laut justru berubah menjadi tembok pemisah.

Pagar ini tidak hanya menyulitkan nelayan tetapi juga mencerminkan kebijakan pembangunan yang sering kali mengabaikan rakyat kecil.

Apakah pagar ini bagian dari proyek reklamasi? Atau mungkin ada kepentingan swasta yang ingin mendominasi wilayah pantai? Tidak ada yang tahu – atau setidaknya tidak ada yang mau mengaku tahu.

Ketika rakyat bertanya, jawaban yang selalu muncul adalah ajakan untuk bersabar. Sabar menunggu penyelidikan, sabar menerima dampak, sabar menghadapi ketidakpastian. Namun, sampai kapan? Nelayan yang kehilangan akses ke laut tidak bisa menunggu, karena hidup mereka bergantung pada tangkapan hari itu.

Sebuah Potret Besar

Pemagaran laut di Tangerang hanyalah potret kecil dari masalah yang lebih besar. Di banyak tempat, rakyat sering kali menghadapi kebijakan yang tiba-tiba muncul tanpa sosialisasi, apalagi partisipasi. Ketika masalah mencuat, yang didengar hanyalah alunan simfoni ketidaktahuan yang membingungkan.

Mungkin ini saatnya bagi kita semua untuk bertanya: bagaimana proyek sebesar ini bisa terjadi tanpa sepengetahuan siapa pun? Atau mungkin, pertanyaan yang lebih tepat adalah, apakah "tidak tahu" hanyalah tameng lain dari ketidakpedulian?

Akhir Kata. Di balik pagar sepanjang 30 kilometer itu, bukan hanya nelayan yang terperangkap. Seluruh masyarakat ikut terjebak dalam paradoks pembangunan yang melupakan manusia sebagai pusatnya.

Jika ketidaktahuan ini terus dibiarkan, pagar-pagar lain — baik yang terlihat maupun tidak — akan terus bermunculan, memisahkan rakyat dari hak-hak mereka sendiri.***

Pagar laut 30 km Tangerang Reklamasi VOXindonews Lazada Shopeepee