VOXNasional

FGD HPN 2025 Bahas Perpres No. 5 Tahun 2025 dan Keberlanjutan Industri Kehutanan dan Kelapa Sawit

Redaktur : Fendri Jaswir
Senin, 10 Februari 2025 06:23 WIB
Pembiaca dalam FGD HPN 2025 yang membahas Perpres No. 5 Tahun 2025 dan keberlanjutan Industri Kehutanan dan Kelapa sawit.

PEKANBARU (VOXindonews) - Sebagai bagian dari elemen yang ikut serta sebagai media penyalur aspirasi masyarakat, PWI Riau Taja Focus Grup Discussion (FGD) dengan pembahasan diskusi Perpres No. 5 Tahun 2025 dan Optimalisasi Industri Kehutanan dan Industri Kelapa Sawit Berkelanjutan yang digelar di Nazir Ballroom Mutiara Merdeka Hotel Pekanbaru, Sabtu (08/02/2025).

Dalam FGD yang dipantik oleh Prof Rajab Ritonga dan dimoderatori oleh Marah Sakti Siregar ini menghadirkan beberapa orang pembicara diantaranya: Agus Suryoko, SH. MH (Dinas Lingkungan Hidup), Dr. Sadino (Pengamat dan pakar hukum kehutanan), Muller Tampubolon SE, MM (Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (IPHI). Serta Prof Rajab Ritonga (Pemerhati Media).

FGD ini merupakan salah satu bentuk kinerja PWI dalam Menampung apa saja yang menjadi problem di masyarakat untuk disampaikan kepada pemerintah.

Peraturan presiden tentang penertiban kawasan hutan menjadi topik hangat di kalangan industri kelapa sawit Indonesia.

Berbagai pihak termasuk praktisi hukum dan pelaku industri memperdebatkan implikasi hukum dari Perpres ini.

FGD ini juga membahas secara komprehensif dampak dan potensi konflik hukum yang ditimbulkan oleh Perpres 5 tahun 2025 terhadap industri kelapa sawit di Indonesia.

Selain itu juga memberikan rekomendasi solusi yang konstruktif untuk menyelesaikan tantangan yang dihadapi.

Dalam paparannya, Agus Haryoko dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau mengatakan luas area hutan di Riau ini sejumlah 5.3 Juta Hektar.

"Luasan ini mencakup tiga sektor atau area diantaranya Fungsi Hutan Lindung, Fungsi Hutan Konservasi, dan Fungsi hutan Produksi''.

Agus mengatakan ada beberapa persoalan diantaranya 1.8 juta hektar yang belum memiliki legalitas sektor perkebunan.

"Kawasan hutan ini sesuai dengan definisi dalam keputusan MK Tahun 2014, dengan melakukan penegakan hukum didalam kawasan hutan.''

" Kami sering melakukan beberapa upaya dalam tindakan ini, Namun sering diuji dalam proses Pra Pradilan," ungkapnya.

Dengan dipisahkannya Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan ini diharapkan adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat.

"Dengan adanya kebijakan ini diharapkan dapat menghadirkan keadilan ditengah masyarakat." sebutnya.

Sementara itu, Dr Sardono dalam penyampaian materinya mengatakan, Dampak Perpres terhadap pelaku usaha sawit menimbulkan ketidakpastian operasional karena beresiko potensi pengambilalihan oleh negara.

Oleh karena itu, kata Sardono, perlu kajian untuk direvisi lagi  karena ia menilai perpres ini bnayak merugikan para pelaku usaha.

Muller Tampubolon, SE, MM, Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia Riau dalam penyampaian materinya mengatakan perlu landasan hukum dan terbitnya perpres untuk melakukan percepatan penyelesaian permasalahan tata kelola lahan perkebunan.

"Jika dijalankan maka tidak banyak yang bermasalah, ada pendapatan negara bukan pajak dari keterlanjuran, optimalisasi pendapatan negara, kalaupun harus dipulihkan kembali maka ini bisa dibahas di forum Forum khusus." katanya.

Prof. Rajab Ritonga selaku praktisi media turun memantik diskusi pada hari ini, Rajab mengatakan penertiban kawasan hutan ini merupakan Ekosistem daratan yang merupakan bagian dari SDGs, hal ini juga bisa ditinjau dan bisa diuji ke Mahkamah agung.

"Dengan luasnya jumlah daratan Indonesia menyatakan tidak bisa melepaskan diri dari kawasan daratan, Indoneia dikenal dengan banyaknya pulau dan kepulauan. Sumberdaya kehutanannya luar biasa. Luas hutan Indonesia secara keseluruhan 125 juta Hektar," paparnya.

Sejauh ini Rajab mengatakan banyaknya media yang memberitakan tentang keadaan hutan khususnya di Riau, diantaranya kebakaran hutan, ilegal loging pergeseran patok perusahaan.

"Tidak menutup kemungkinan bakal terjadi pemberitaan pemberitaan miring yang terjadi di lapangan.''

Oleh karena itu, dirinya mengatakan Pembangunan harus tetap berjalan tetapi harus sesuai dengan rel yang tersedia.

Persoalan mengenai hukum dan media harus disesuaikan dengan mekanisme yang berlaku, sehingga menjadikan berintegritas dan berkualitas serta mematuhi dengan kode etik. (FJ/Rls)

Industri Kehutanan Industri Kelapa sawit FGD HPN 2025 HPN 2025 PWI Lazada VOXindonews Shopee