VOXNasional

Rempang Sudah Dikeluarkan dari PSN, Rieke Diah : Tidak Boleh Lagi Ada Kekerasan dan Intimidasi

Redaktur : Fendri Jaswir
Selasa, 29 April 2025 16:50 WIB
Warga Rempang mengadu ke Komisi VI DPR RI.

JAKARTA (VOXindonews) - Warga Pulau Rempang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Rempang Galang Bersatu (AMAR-GB) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI pada Senin (28/4/2025).

Di RDP terkait penolakan masyarakat atas Proyek Srategis Nasional (PSN) Rempang Eco City ini, warga Pulau Rempang hadir bersama Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang sebagai pendamping mereka.

Warga mengemukakan sejumlah persoalan yang muncul atas rencana PSN Rempang Eco City di depan Nurdin Khalid yang memimpin RDP di Ruang Rapat Komisi VI.

Persoalan-persoalan itu, bahkan telah mendatangkan akibat nyata bagi masyarakat Pulau Rempang. Di kampung yang mereka diami turun temurun sejak ratusan tahun lalu, warga mengalami intimidasi, kekerasan, dan kriminalisasi.

Warga tidak lagi tenang ketika melaut dan berkebun, yang berujung pada berkurangnya penghasilan mereka. Alat tangkap warga rusak dan kebun mereka terbengkalai, karena terbagi fokus menjaga kampung dari ancaman penggusuran.

Dampak lain dari rencana PSN Rempang ini, muncul konflik sosial di tengah masyarakat; terganggunya layanan umum; dan mulai ada kerusakan lingkungan yang terjadi di sekitar Pulau Rempang.

Terkait dengan kriminalisasi, sebanyak delapan warga ditangkap dan dijadikan tersangka dalam kerusuhan di Pulau Rempang, tepatnya di Kampung Tanjung Kertang pada 7 September 2023.

Kemudian, ada 43 warga yang ditangkap dalam aksi demonstrasi berujung kerusuhan di depan kantor BP Batam pada 11 September 2023. Dari 43 warga tersebut, 35 di antaranya ditetapkan menjadi tersangka dan diputus bersalah oleh pengadilan.

Yang terbaru, tiga warga Pulau Rempang dijadikan tersangka atas tuduhan merenggut kemerdekaan orang lain. Mereka ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Januari 2025.

Warga juga terus mendapatkan intimidasi dari hadirnya petugas keamanan PT Makmur Elok Graha (MEG) di kampung-kampung mereka. Dalam beberapa kejadian, warga mengalami intimidasi yang berujung pada kekerasan fisik yang dilakukan petugas keamanan PT MEG.

Di antaranya kejadian pada 18 September 2024 di kawasan Goba, kampung Sei Buluh, Kelurahan Sembulang yang mengakibatkan tiga warga mengalami luka-luka, salah satunya adalah wanita lanjut usia (Lansia) yang mengalami patah tangan.

Kemudian penyerangan yang dilakukan puluhan petugas PT MEG di tiga pos warga di Kampung Sembulang Hulu dan Sungai Buluh di Pulau Rempang pada 17 Desember 2024 malam. Akibat penyerangan tersebut, delapan warga mengalami luka dan harus mendapatkan perawatan, satu di antaranya mengalami luka berat dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.   

Dalam kesempatan tersebut, warga juga mengadukan ihwal Badan Pengusahaan (BP) Batam yang dinilai tidak transparan atas data-data yang dikeluarkan. Utamanya data terkait warga di lima kampung yang telah menerima relokasi. Warga Rempang meyakini data tersebut tidak akurat, karena berbeda jauh dengan data yang mereka himpun.

Warga menyayangkan sikap BP Batam yang enggan terbuka perihal data-data ini. Tidak hanya kepada masyarakat Pulau Rempang, namun juga pada lembaga negara macam Ombudsman Republik indonesia (ORI). Tidak hanya sekali, Ombudsman RI bahkan telah berulang meminta BP Batam memberikan data detail warga yang telah menerima relokasi ini.

Di tengah kondisi yang menempatkan masyarakat Rempang pada posisi sulit, pemerintah justru dirasa terus membuat warga kian terbelit. Pemerintah dinilai hanya mengubah narasi dari penggusuran menjadi relokasi, mengubahnya lagi menjadi transmigrasi lokal yang belakangan didengungkan oleh Kementerian Transmigrasi.

Warga meyakini langkah-langkah pemerintah ini bukanlah solusi. Sebaliknya, hanya cara baru untuk menggusur dan merenggut ruang hidup mereka di Pulau Rempang. Padahal, warga telah turun temurun mendiami Pulau Rempang sejak ratusan tahun lalu.

Di RDP ini, warga juga menyampaikan sejumlah hal yang mendasari gerak mereka mempertahankan kampung. Bahwa Pulau Rempang bukanlah tanah kosong, sebaliknya Rempang dan masyarakatnya telah eksis, jauh sebelum Indonesia merdeka. Keberadaan masyarakat Pulau Rempang ini, terbukti dari jejak makam leluhur mereka di sana.

Bahwa warga telah hidup dari generasi ke generasi di Pulau Rempang. Berdampingan dengan laut dan tanah yang memberikan penghidupan untuk leluhur yang kemudian diwariskan kepada mereka sampai saat ini. Sehingga eksistensi kampung-kampung mereka di sana adalah keniscayaan.

Atas dasar hal-hal di atas, dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI ini, warga Pulau Rempang menuntut:
1. Batalkan PSN Rempang Eco City
2. Hentikan Kekerasan, Kriminalisasi dan tegakkan hukum seadil-adilnya
3. Keluarkan PT MEG dari Pulau Rempang, hentikan kekerasan dan premanisme
4. Pulihkan hak-hak masyarakat Rempang
5. Hentikan solusi-solusi palsu pembangunan masyarakat
6. Cabut aturan-aturan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat
7. Berikan pengakuan hak atas tanah masyarakat

Pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, Edy K Wahid, dalam RDP tersebut, mengatakan masyarakat Pulau Rempang dari awal tidak dilibatkan dalam rencana PSN Rempang Eco City. Hal ini menandakan masyarakat di Pulau Rempang tidak diakui pemerintah.

Akibatnya, sampai saat ini tidak muncul solusi yang jelas dari persoalan yang ada di Pulau Rempang. Padahal masyarakat sudah hidup turun temurun sejak ratusan tahun lalu di sana.

“Saat ini tidak ada pengakuan hak pada masyarakat Rempang oleh BP Batam. Akui dulu hak masyarakat, baru bisa musyawarah.”

Senada dengan Edy, pengacara dari Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang lain, Ahmad Fauzi, menyampaikan pihaknya juga menyoroti Keputusan Presiden (Keppres) No 41 tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. Aturan ini, kata Fauzi, menjadi momok bagi masyarakat Batam, karena BP Batam diberi kewenangan atas lahan yang ada di Batam wilayah kerjanya.

Tim Advokasi Solidaritas Nasional untuk Rempang, meminta Komisi VI DPR RI untuk memperhatikan betul aturan ini. Karena, saat ini konflik karena ancaman penggusuran, tidak hanya terjadi di Pulau Rempang, tetapi juga menimpa masyarakat di bagian lain di Kota Batam.

“Jadi masyarakat di Rempang itu dianggap tidak ada karena aturan ini.”  

Eko Yunanda, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, rencana pembangunan di Pulau Rempang, selain tidak berlandaskan HAM yang kemudian memunculkan konflik, kajian terhadap dampak lingkungan juga belum terlihat wujudnya.

Pulau Kecil seperti Rempang yang luasnya kurang dari 2.000 kilometer persegi, tidak boleh menerima beban pembangunan yang berpotensi merusak daya dukung dan daya tamping Pulau Rempang itu sendiri.

Selain itu, transisi energi dalam pembangunan PLTS dan pabrik kaca, berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang cukup besar. Kondisi ini juga Akan memperparah kerusakan ekosistem laut, yang berdampak terhadap masyarakat pesisir.  Demikian juga dengan potensi rusaknya wilayah darat di Pulau Rempang yang dapat menghancurkan pangan local.      

Menanggapi aduan masyarakat Pulau Rempang ini, sejumlah anggota Komisi VI DPR RI buka suara. Salah satunya adalah Rieke Diah Pitaloka Intan Purnama Sari. Ia mengaku senang dengan dikeluarkannya proyek Rempang dari status PSN sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 tahun 2025.

Rieke juga mendesak Jaksa Agung untuk mengusut pihak-pihak yang terlibat terkait adanya potensi korupsi di proyek Rempang Eco City. Ia juga mendorong dilakukan audit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada BP Batam yang selama ini memainkan peran penting di sana.

“Warga tidak mungkin datang ke sini, kalau mereka tidak putus asa. Insyaallah tidak ada yang tidak bisa. Saya dukung pemerintah untuk evaluasi PSN Rempang Eco City, apalagi sudah tidak PSN. Tidak ada satu agama pun mengijinkan tanah masyarakat dirampas.”

“Apakah proyek ini sudah ada kajian atau belum?. Investasi belum pasti, kerugian sudah didapat masyarakat,” tambahnya.

Terkait dengan aduan warga Rempang soal adanya intimidasi, pihaknya berharap keadilan yang seadil-adilnya untuk masyarakat. Ia mendesak agar segala bentuk kekerasanan, intimidasi, kriminalisasi bagi masyarakat Pulau Rempang dan masyarakat dimanapun berada dihentikan.

Lebih jauh, Nurdin Khalid, mengatakan pihaknya sudah membentuk Panitia Kerja (Panja) terkait persoalan lahan di Batam. Pada prosesnya, tim akan segera turun ke lapangan, termasuk datang langsung ke Pulau Rempang pada 15 sampai 17 Mei 2025 mendatang.

Lebih lanjut, Andrie Yunus selaku Wakil Koord. Eksternal KontraS menegaskan bahwa dengan dicabutnya status PSN, sudah seharusnya pemerintah meninjau ulang kembali pelaksanaan proyek yang sejauh ini telah menciderai hak-hak masyarakat yang terdampak secara langsung.

Lebih lanjut, DPR RI perlu melakukan evaluasi total terhadap alat-alat negara yang dikerahkan dalam proyek Rempang Eco City termasuk terhadap peristiwa kekerasan hingga intimidasi terhadap warga masyarakat adat Rempang.

"Terakhir, kami menilai pelaku kekerasan non-negara yang turut terlibat melakukan kekerasan, harus segera diproses hukum." (FJ/Rls)

Rempang Galang Batam PSN Dikeluarkan dari PSN Rieke Diah Pitaloka Komisi VI DPR RI VOXindonews Lazada Shopee