- 23/12/2024
MANUSIA, khususnya umat Islam karena konteksnya Ramadhan, sejak kelahirannya membawa potensi (potencial capacity). Untuk sekadar diketahui, bahwa dalam tulisan ini, penulisan “Ramadhan” saya cetak miring karena penulisan yang benar menurut KBBI adalah “Ramadan”. Potensi tersebut diharapkan menjadi kemampuan nyata (actual ability). Untuk mewujudkan harapan tersebut maka harus dikembangkan melalui pendidikan.
Dalam dunia pendidikan agama Islam, untuk mengembangkan atau mengubah potencial capacity (potensi) menjadi actual ability (kemampuan nyata) -- sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Asep Zaenal Ausop, M.Ag—dikenal tiga aktivitas: Ta’lim, Ta’dib, dan Tarbiyah. Ketiga hal ini, memiliki orientasi dan/atau tujuan yang berbeda.
Ta’lim diorientasikan pada otak dan bertujuan agar manusia memiliki ilmu pengetahuan. Terkait ini, Allah menegaskan dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah [2]: 31-32 “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada para malaikat, seraya berfirman ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!” (31). “Mereka menjawab, ‘Mahasuci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain apa yang telah engkau ajarkan kepada kami’. Sungguh, Engkauhlah Yang Maha Mengetahui, Mahabijaksana” (32).
Ta’dib, dalam pandangan Asep berarti mengadabkan, membuat peserta didik beradab. Sasaran Ta’dib adalah hati. Tujuannya agar peserta didik [manusia] berhati nurani. Ini relevan dengan hadis Rasulullah “addabani rabbi fa ahsana ta’dibi” (Allah telah mendidikku dengan sebaik-baiknya pendidikan).
Berbeda dengan Ta’lim dan Ta’dib, Tarbiyah dipandang orientasi dan/atau tujuannya lebih komprehensif lagi, mencakup seluruh sisi kemanusia tanpa kecuali yang telah disebutkan di atas. Tarbiyah ini dinilai menjangkau dimensi tubuh, perilaku, [otak], kesadaran, nurani, dan ruh. Dan dalam prosesnya, idealnya guru membimbingnya selama 24 jam. Bisa dimaknai mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Berarti ini relevan dengan proses yang berlangsung dalam dunia pendidikan pesantren.
Dari pengertian-pengertian atau perspektif-perspektif di atas, saya mencoba menginterpretasikan dan mengontekstualisasikannya dalam bulan Ramadhan. Dari hal ini, saya mendapatkan percikan kesimpulan bahwa Ramadhan sebagai Bulan Tarbiyah. Dan yang pasti sebagai bulan tarbiyah dipandang memiliki urgensi, signifikansi dan implikasi besar bagi kehidupan manusia, khususnya umat Islam6 yang bersungguh-sungguh melakukan ibadah yang menjadi tuntunan selama bulan Ramadhan, maka akan mengalami sebuah proses pengembangan potensi sebagaimana yang menjadi orientasi, cakupan dan tujuan dari apa yang dimaknai sebagai aktivitas tarbiyah. Bahkan proses tarbiyah yang ada dalam bulan Ramadhan, beyond (bisa melampaui) proses tarbiyah di pesantren di luar bulan Ramadhan.
Menjalankan ibadah selama bulan Ramadhan, khususnya dan terutama menjalankan ibadah puasa akan mampu mengembangkan potensi diri, baik dimensi fisik/jasadiyah/biologis, ilmu pengetahuan, maupun dan terutama adalah dimensi kesadaran, nurani dan ruh. Dan saya pun menegaskan kembali ini akan memaksimalkan pencapaian puncak prestasi spiritual.
Khususnya puasa, manfaat dan/atau tujuannya bukan hanya dipahami secara teologis yang bermuara pada persoalan surga-neraka. Dalam tinjaun ilmu kesehatan atau kedokteran pun, telah menyimpulkan bahwa berpuasa memiliki manfaat yang besar bagi kesehatan tubuh dan yang pasti termasuk kesehatan mental. Bahkan diyakini, dan saya pun secara pribadi merasakan dan berani mengatakan bahwa berpuasa bisa menjadi upaya penyembuhan bagi jenis penyakit tertentu, seperti penyakit maag.
Bulan Ramadhan pun, sebagaimana orientasi dan/atau tujuan dari aktivitas tarbiyah, mampu menambah asupan gizi bagi otak. Bagaimana logikanya, sehingga disimpulkan pun seperti itu? Jawaban minimalisnya, bahwa pada dasarnya umat Islam pada bulan Ramadhan akan mengikuti ceramah-ceramah di masjid. Dan hal ini dipandang menambah asupan gizi atau peningkatan ilmu pengetahuan khususnya dalam ilmu agama.
Selain hal di atas, sebagaimana yang saya pahami dari skema yang dibuat/dirumuskan oleh Bobbi DePorter & Mike Hernacki, dalam buku karyanya Quantum Learning, saya mendapatkan percikan reinterpretasi, puasa dan ibadah-ibadah lainnya dalam bulan Ramadhan, sesungguhnya bisa mengaktivasi potensi dahsyat otak. Mengapa saya berani menginterpretasikan ulang seperti itu? DePorter & Hernacki berdasarkan risetnya yang mendalam, menemukan satu skema yang bisa diparafrasekan seperti ini bahwa, “Optimalisasi fungsi dan/atau kinerja otak” sangat dipengaruhi oleh “suasana hati”. Yang dalam forum-forum perkaderan dan LDK OSIS, “suasana hati” ini saya sering memberikan sentuhan penilaian dengan istilah “TSB (Tenang, Senang, dan Bahagia). Saya yakin, jika kita melaksanakan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya secara tulus, ikhlas, dan niat yang baik, dalam bulan Ramadhan, maka suasana hati kita akan “TSB”. Pencapaian suasana hati yang TSB akan meningkatkan kinerja otak.
Bulan Ramadhan pun, bagi yang bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya akan mampu mencapai peningkatan kesadaran, kepekaan nurani, dan kualitas ruh yang baik. Melalui bulan Ramadhan, kita akan mendapatkan pemantik kesadaran terkait banyak hal tanpa kecuali terkait kehidupan. Minimal kita akan menyadari, urgensi kesabaran dalam kehidupan. Selain itu jika pembaca mengikuti tulisan-tulisan saya pada Ramadhan tahun lalu, akan banyak menemukan hal-hal yang memantik kesadaran, salah satunya bukti relevansi antara ayat qauliyah dan kauniyah. Tanpa kecuali untuk Ramadhan kali ini, kita menyadari bahwa perbedaan penetapan awal Ramadhan itu terjadi dan tentunya ini diharapkan tidak menjadi penyulut perpecahan. Islam menggariskan perbedaan adalah rahmat.
Hal di atas pun, terkait perbedaan awal Ramadhan, kembali memercik kesadaran baru, bahwa betul sebagaimana dikatakan oleh Dr. Aksin Wijaya “Islam sebagai agama diyakini bersifat tunggal karena ia lahir dari yang Maha Tunggal. Namun, ketika masuk ke dalam ranah pemahaman manusia, Islam tidak lagi tunggal. Islam mulai beragam”.
Puasa pada bulan Ramadhan, yang dilaksanakan beberapa hari (tentu tepatnya 29 atau 30 hari) mampu mengasah kepekaan nurani tanpa kecuali dalam persoalan-persoalan realitas sosial. Sesuatu yang logis dan ini adalah wujud nyata dari kepekaan nurani tersebut, sehingga gairah atau semangat berbagi mencapai frekuensi dan/atau intensitas yang cukup tinggi. Apa lagi puasa pada bulan Ramadhan disatupaketkan dengan mengeluarkan zakat fitrah. Ini sesungguhnya mengandung upaya mengasah kepekaan nurani.
Adalah Asep pun menegaskan “Setiap bayi yang lahir, termasuk anak-anak yang lahir di luar tali pernikahan sekalipun, memiliki sifat dasar fitrah dan hanif. Fitrah artinya suci tanpa noda dosa. Adapun hanif adalah lurus kepada Allah Swt. Menuju jalan ke surga”. Puasa, sesungguhnya bukan hanya menahan haus dan lapar, termasuk nafsu, tetapi sesungguhnya puasa mampu mencapai titik fitrah. Selain itu puasa pun akan mampu mengarahkan pada sesuatu yang dimaknai hanif. Hal ini relevan dengan tujuan utama puasa yaitu “bertakwa”, sebagaimana dijelaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183.
Saya pun menegaskan, sebagaimana judul di atas, bulan Ramadhan bisa menjadi ruang dan waktu untuk proses pencapaian puncak prestasi spiritual. Di hadapan Allah sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Hujurat [49]: 13, puncak prestasi spiritual adalah takwa, “….Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa….”. Dan bukankah ibadah utama bulan Ramadhan adalah “puasa” dan sebagaimana yang ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 183, tujuan utama puasa adalah “bertakwa” (mencapai tingkat ketakwaan sebagai prestasi spiritual).
Sebagai penulis, saya pribadi sangat mengharapkan pencapaian puncak prestasi spiritual, ketakwaan, manfaatnya jangan hanya bermuara pada dimensi transenden atau bermuara pada “surga”, tetapi secara fungsional memberikan nilai dan manfaat dalam realitas empiris (kehidupan berkeluarga, bertetangga, serta berbangsa dan bernegara). Diharapkan pencapain hasil tarbiyah selama bulan Ramadhan dan pencapai prestasi spiritual tersebut berkontribusi atau memiliki implikasi yang besar dan baik bagi tata kelola pemerintahan, ruang publik, bangsa, dan negara.
Hasil dari pencapaian prestasi spiritual pada bulan Ramadhan, diharapkan mampu memiliki korelasi positif terhadap upaya pemberantasan korupsi, mampu meningkatkan kohesivitas sosial, dan termasuk mendorong semangat untuk berlomba-lomba pada kebaikan sesuai koridor hukum dan keadaban yang telah digariskan secara ideal.
Pencapaian prestasi spiritual pun berarti mengandung makna pula untuk membingkati segala sikap, perilaku atau tindakan dalam realitas kehidupan dengan apa yang dimaknai sebagai “spiritualitas ihsan” yang secara sederhana bisa dimaknai dan direinterpretasikan, serta ditarik garis relevansi dengan pandangan Jamil Azzaini dengan istilah “3 AS” (Kerja Keras, Kerja Cerdas, dan Kerja Ikhlas).
Pada ujung tulisan ini, saya ingin menyampaikan bahwa untuk pendalaman terkait Ramadhan sebagai bulan tarbiyah, bisa mengikuti semua tulisan-tulisan yang saya produksi selama 30 hari pada bulan Ramadhan tahun lalu (dan saya pun akan kembali share linknya). Dan semoga pada bulan Ramadhan tahun ini, bisa kembali full, setiap hari ada tulisan, dan pembaca pun mengikutinya. Insya Allah dengan mengikuti tulisan-tulisan saya, itu pun mengandung secuil orientasi dan tujuan daripada aktivitas tarbiyah tersebut. Besar harapan saya pribadi, hal ini bisa memberikan pencerdasan, pencerahan, dan penyadaran bagi kita semua, meskipun hanya setetes.
*Mantan Ketua PD. Pemuda Muhammadiyah Bantaeng. Komisioner KPU Kabupaten Bantaeng Periode 2018-2023.