VOXOpini

Kesejahteraan Wartawan dan Kode Etik Jurnalistik

Oleh : Fendri Jaswir, Pemimpin Redaksi VOXindonews
Sabtu, 30 April 2022 07:22 WIB
Fendri Jaswir ketika Safari Jurnalistik

MENJADI wartawan merupakan hak asasi seluruh warga negara. Tidak ada ketentuan yang membatasi hak seseorang untuk menjadi wartawan. Pekerjaan wartawan sendiri sangat berhubungan dengan kepentingan publik karena wartawan adalah bidan sejarah, pengawal kebenaran dan keadilan, pemuka pendapat, pelindung hak-hak pribadi masyarakat, musuh penjahat kemanusiaan seperti koruptor dan politisi busuk.

Oleh karena itu, dalam melaksanakan tugasnya wartawan harus memiliki kompetensi yang memadai dan disepakati oleh masyarakat pers. Standar kompetensi ini menjadi alat ukur profesionalisme wartawan. Standar kompetensi wartawan diperlukan untuk melindungi kepentingan publik dan hak pribadi masyarakat. Standar ini juga untuk menjaga kehormatan pekerjaan wartawan dan bukan untuk membatasi hak asasi warga negara menjadi wartawan.

Kompetensi wartawan pertama-tama berkaitan dengan kemampuan intelektual dan pengetahuan umum. Di dalam kompetensi wartawan melekat pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan berkomunikasi, berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Kompetensi wartawan meliputi kemampuan memahami etika dan hukum pers, konsepsi berita, penyusunan dan penyuntingan berita, serta bahasa. Dalam hal yang terakhir ini juga menyangkut kemahiran melakukannya, seperti juga kemampuan bersifat teknis sebagai wartawan profesional, yaitu mencari, memperoleh, menyimpan, memiliki, mengolah, serta membuat dan menyiarkan berita.

Dalam kaitan profesionalisme itu, wartawan Indonesia wajib menaati Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Undang-undang ini dibuat agar pers nasional dapat melaksanakan asas, fungsi, hak, kewajiban, dan peranannya dengan sebaik-baiknya berdasarkan kemerdekaan pers yang profesional.

Pasal 7 Ayat (2) Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 ini menegaskan wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik. Dewan Pers sebagai lembaga independen yang mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional, telah membuat Kode Etik Jurnalistik berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor : 03/SK-DP/III/2006 tertanggal 24 Maret 2006 dan disahkan melalui Peraturan Dewan Pers Nomor : 6/Peraturan-DP/V/2008 tertanggal 12 Mei 2008. Kode Etik Jurnalistik ini terdiri dari 11 Pasal.

Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik menegaskan wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.  Penyalahgunaan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Atas dasar ketentuan ini, lalu bagaimana dengan menerima  ‘’amplop’’? – saya tak mau menyebutnya budaya karena budaya adalah sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dan diakui serta dibenarkan keberadaannya.  Bagaimana pula dengan permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) ke pihak lain? Adakah hal ini berkaitan dengan tingkat kesejahteraan wartawan yang masih jauh dari yang diharapkan?

Kondisi kesejahteraan wartawan saat ini

Dalam istilah umum, kesejahteraan atau sejahtera menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia dimana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai. Mengacu kepada pengertian ini, dari pengalaman dan pengamatan selama ini, saya menyimpulkan belum semua wartawan di Indonesia sejahtera. Bahkan, boleh jadi, sebagian besar (saya belum dapat angka persentasenya) wartawan Indonesia masih jauh dari sejahtera.

Menurut President of Southeast Asia Press Alliance, Eko Maryadi, tingkat kesejahteraan seorang wartawan Indonesia masih jauh dibandingkan dengan Singapura, misalnya.  Wartawan fresh graduate  di Singapura memperoleh salary 600-700 US dollar per bulannya. Sedangkan di Indonesia berkisar Rp 2,5 – Rp 3,5 juta per bulan.

Dengan data ini terlihat bahwa kesejahteraan wartawan Indonesia masih jauh dari yang diharapkan. Sebab, Upah Minimum Provinsi (UMP) Riau saja, misalnya, sudah Rp 3,2 juta per bulan. Artinya, tingkat pendapatan wartawan Indonesia hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan fisik minimum, atau bahkan kurang dari kebutuhan tersebut. Jadi, masih sangat memprihatinkan.

Bayangkan kebutuhan yang harus dipenuhi oleh seorang wartawan. Mulai dari kebutuhan makan dan minum keluarga, pakaian, listrik, air, BBM sepeda motor, pulsa atau WiFi, biaya sekolah anak, biaya harian anak, beli buku, fotokopi dan lain-lain. Ini kebutuhan rutin yang harus dipenuhi. Belum lagi kebutuhan insidentil seperti sakit dan beli obat.

Perkembangan pers di Indonesia akhir-akhir, telah menyebabkan kondisi kesejahteraan wartawan memprihatinkan. Banyak media massa cetak yang gulung tikar akibat pengaruh teknologi informasi. Masyarakat beralih dari membaca koran atau suratkabar ke media massa online.  Media massa online lebih cepat informasinya, dan lebih praktis membacanya.

Akibatnya, banyak wartawan media cetak yang selama ini sudah cukup mapan, harus banting stir ke media online. Ada yang bekerja di media online dalam satu grup media cetak sebagai pengembangan dari media cetak. Tapi tidak sedikit pula yang angkat kaki dan membentuk media online sendiri. Memang, membuat media online tidaklah terlalu sulit dan tidak terlalu mahal dibandingkan dengan media cetak.

Makanya, sekarang menjamur media online atau media situs berita (siber). Saking menjamurnya, sulit sekarang mengetahui dan menghafal nama media online. Malahan ada namanya yang mirip-mirip sehingga rancu dan membingungkan.  Misalnya, memakai angka 1 dan kata satu. Sama-sama satu, tapi media onlinenya sudah berbeda.

Pertanyaannya, apakah kesejahteraan wartawan yang bekerja di media online ini lebih sejahtera dibandingkan dengan di media cetak? Nggak juga. Memang, biaya operasional media online jauh lebih murah dibandingkan dengan media cetak. Namun persaingan antar media online juga semakin ketat. Apalagi persaingan untuk memperoleh kue iklan, advertorial atau kerjasama media.

Sebagai contoh, salah satu pemerintah kabupaten/kota akan membagikan uang iklan atau advertorial kepada media massa, baik online maupun cetak. Syaratnya, sesuai dengan ketentuan UU Pers dan Dewan Pers. Media tersebut harus jelas nama, alamat dan penanggungjawabnya, serta badan hukum Indonesia.  Media tersebut juga harus terverifikasi faktual di Dewan Pers, atau minimal verifikasi administrasi. Syarat lain adalah NPWP dan nomor rekening perusahaan.

Seperti diketahui, semua persyaratan di atas merupakan persyaratan yang diwajibkan oleh Dewan Pers untuk verifikasi sesuai ketentuan undang-undang. Namun ada persyaratan lain menyangkut jaminan kesejahteraan.  Seperti, setiap media massa harus memiliki karyawan yang jelas kontrak dan penggajiannya. Karyawan ini juga harus didaftarkan sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Minimal tiga karyawan setiap perusahaan pers.

Meskipun sudah sejelimet itu, namun uang iklan atau advertorial yang didapat dari pemerintah kabupaten/kota tersebut, tidaklah terlalu besar. Hanya berkisar Rp 4 juta sampai Rp 5 juta setahun. Sebab, perusahaan pers yang mengajukan uang iklan atau advertorial itu terlalu banyak. Sehingga pemerintah kabupaten/kota harus membagi rata sesuai dengan kemampuan APBD yang dimiliki.

Begitulah sulitnya mendapatkan penghasilan media massa dari iklan atau advertorial. Akibatnya, penggajian rutin karyawan (wartawan) setiap bulannya menjadi terganggu. Tidak jarang wartawan hanya digaji sesuai dengan pendapatan iklan atau advertorial. Besarnya ‘belah semangka’. Artinya, wartawan dapat separo dari nilai iklan atau advertorial. Separo lagi disetor ke perusahaan pers.

‘Amplop’ dan Minta THR bolehkah?

Persoalan ‘amplop’ ini sudah jamak terjadi di kalangan wartawan. Bahkan, dari dulu-dulu sudah begitu.  Setiap jumpa pers atau ketika wartawan diundang meliput sesuatu acara atau kegiatan, pihak panitia memberikan uang dalam amplop sebagai tanda terima kasih. Isinya biasanya tidak terlalu besar, sepadan dengan uang transportasi yang disesuaikan dengan kemampuan panitia.

Apakah wartawan boleh menerima ‘amplop’ ini?  Dari dulu terjadi pro kontra. Sebagian media besar yang mampu menggaji wartawan agak besar, tegas melarang menerima ‘amplop’. Tapi sebagian besar media massa tidak melarang menerimanya. Namun perusahaan pers memberikan batas-batas mana yang boleh diterima, dan batas mana yang tidak boleh diterima.

Saya termasuk yang moderat soal ‘amplop’ ini. Sepanjang patut diduga tidak merupakan suap, silahkan diterima. Toh, tidak akan mempengaruhi independensi wartawannya dalam menulis. Pihak pemberi juga tidak akan mencampuri pekerjaan wartawannya. Namun, sebaliknya, jika pemberian ‘amplop’ tersebut patut diduga merupakan suap, dengan tegas wajib ditolak. Sebab, pemberi berupaya untuk mempengaruhi si wartawan untuk menulis atau tidak menulis beritanya.

Biasanya kalau berupa suap, jumlah pemberian itu lebih besar. Dengan memberikan ‘amplop’ yang nilainya lebih besar, apalagi didahului dengan bujuk rayu atau negosiasi, dapat diduga pemberi akan mempengaruhi si wartawan. Jika wartawan terpengaruh dan menerima, maka hal ini dikategorikan dengan suap. Maka, wartawan wajib menolaknya. Sebab, perbuatan ini jelas-jelas melanggar Kode Etik Jurnalistik. Sikap saya ini sejalan dengan tokoh pers nasional almarhum Rosihan Anwar yang pernah saya baca.

Sedangkan masalah Tunjangan Hari Raya (THR), saya sependapat dengan Dewan Pers. Seperti diketahui, melalui suratnya Nomor : 03/DP/K/IV/2022 tanggal 14 April 2022 yang ditujukan ke sejumlah kementerian, lembaga negara, pimpinan BUMN/BUMD, pimpinan perusahaan, Humas daerah, dinas kominfo, perguruan tinggi dan kepala desa se Indonesia, Dewan Pers menghimbau agar tidak melayani permintaan THR, permintaan barang, sumbangan dalam bentuk apapun, yang mungkin diajukan oleh wartawan, organisasi wartawan, perusahaan pers ataupun media.

Sikap Dewan Pers ini dilandasi sikap moral dan etika profesi dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakan integritas serta menjunjung tinggi nilai-nilai profesionalisme kewartawanan. Juga untuk mendukung upaya pemberantasan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Pemberian THR kepada wartawan adalah menjadi kewajiban setiap perusahaan pers kepada pegawai/karyawannya.

Kesimpulan    

Perkembangan teknologi informasi telah mengubah kebiasaan masyarakat dari membaca koran atau suratkabar ke membaca berita online atau siber. Akibatnya, supremasi media massa cetak turun drastic, bahkan gulung tikar dan media siber menjadi naik daun. Namun karena terlalu mudah membuat dan kecilnya biaya operasional, media massa online tumbuh bak jamur di musim hujan. Sehingga pertumbuhan wartawan pun makin meningkat tajam.

Kondisi itu tidak mengubah kesejahteraan wartawan ke arah lebih baik. Malahan cenderung menurun karena kemampuan perusahaan pers sangat terbatas. Di sisi lain, kue iklan atau advertorial tidak bertambah, sementara  pembagian  kuenya makin banyak. Akibatnya, penghasilan perusahaan pers makin kecil. Hal ini mempengaruhi sikap wartawan terhadap ‘amplop’.

Menerima ‘amplop’ yang patut diduga berupa suap, wajib ditolak karena melanggar Kode Etik Jurnalistik. Begitupun meminta THR kepada pihak lain. Hal ini melanggar sikap moral dan etika profesi wartawan. ***

*) Tulisan ini adalah makalah sebagai salah satu syarat  ToT Penguji UKW PWI Pusat