VOXOpini

''Bunda in Memories'', Kenangan Nasrun Effendi terhadap Ibundanya

Oleh : H. Nasrun Effendi, Tokoh dan mantan pejabat Riau
Selasa, 12 Desember 2023 22:27 WIB
Hj. Mahniah binti Abd. Jalil, ibunda dari Nasrun Effendi, tokoh Riau.

RABU, 6 Desember 2023, pukul 16.00 saya terima vc dari adik saya Hj. Darghinah yang merawat ibu saya  Hj. Mahniah binti Abd. Jalil, usia 91 tahun, yang sakit terbaring sejak 6 bulan lalu. Saya sudah 2 minggu meninggalkannya ke Jakarta dalam rangka second opinion pemeriksaan kesehatan jantung saya.

Dari penglihatan saya melalui vc dan informasi yang saya dapatkan dari diskusi dengan anak saya dr. Saddam Muhdi di Jogya, saya simpulkan untuk berangkat ke Pekanbaru dengan penerbangan pertama esok harinya.

Kamis, 7 Desember 2023, pukul 08.00, saya sudah mendarat di Pekanbaru dan langsung ke rumah adik saya tempat ibunda dirawat. Saya periksa ulang yang disarankan anak saya Saddam, kemudian saya crosscheck dengan dokter saudara-saudara saya yang juga berdatangan pagi itu.

Dalam hati saya berkata bahwa ibu saya sudah memasuki masa akhir hayatnya. Secara bergantian saya dan adik saya H. Syaifuddin Effendi membisikkan lembut dan perlahan kalimat tauhid di telinga kanannya.

Pukul 16.00 bakda Ashar, kondisi Ibu semakin kritis. Tarikan nafasnya terputus-putus secara perlahan berulang. Dalam hati saya berkata bahwa Ibu saya menunggu waktu masuk maghrib terhitung awal hari Jumat, salah satu tanda husnul khotimah.

Selesai sholat maghrib saya lanjut lagi membimbing kalimat tauhid di telinga kanannya. Pelan dan setiap 10 detik. Saya perhatikan bibirnya bergerak, kemudian saya dekatkan kuping saya ke mulutnya, terdengar jelas ibu saya mengikuti ucapan saya. Demikian berulang sekitar 30 menit.

Dan ucapan saya terakhir, Ibu saya menarik nafas agak panjang dan tidak berulang lagi. Dengan tenang Ibu saya sudah berpulang kerahmatullah. Saya minta saudara-saudara saya yang dokter untuk periksa  memastikannya. Iya, Ibu sudah meninggal dunia.

Langsung kami berdoa melepas kepergiannya. Inmalillahi wainna ilaihi rojiun. Salah satu pintu tol surga buat saya sudah tertutup.

Spontan saya memeluk Ibu dan pecah juga tangisan saya, bukan karena sedih menyesali kepergiannya, tapi terharu betapa hebatnya Ibu saya, sampai hari kematiannya pun dipilihnya hari Jumat. Dan seolah menunggu kedatangan saya agar menyaksikannya.

Ibu saya memang seorang perempuan yang patut dibanggakan dan diteladani. Pastaslah beliau mendapat berbagai penghargaan dari pemerintah dan masyarakat lingkungannya.

Saya merasa jadi manusia tiada berarti dibanding Ibu saya. Saya menangis karena saya menyadari tidak akan pernah bisa sehebat ibu saya. "Maafkan saya ya Ibu, anakmu tak mampu mengikuti apalagi melebihi kebaikanmu".

Sekilas tentang Ibu saya

Lahir pada Januari 1932 di Desa kecil 25 km dari Pekanbaru, dari keluarga petani sederhana. Ayahnya imam di masjid Kampung itu, ibunya bidan kampung di Kampung itu. Suaminya KH. Hasyim  Arsyad, seorang Ulama, pernah sebagai Ketua MUI dimasanya.

Ibu saya yang tamatan sekolah agama 'Madrasah Tawalib' di Bukittinggi, kemudian menjadi guru pada SMP Islam di Desanya. Sambil tetap melanjutkan pendidikannya sehingga berhasil tamat PGA. Dan pindah mengajar di SMP Negeri di Desa itu.

Selain itu Ibu juga aktifis perempuan, membina Majelis Taklim, Mendirikan Rumah Tahfis, mewakafkan lahan tanahnya untuk pendirian Puskesmas Inap. Masa tuanya masih juga mengajar gratis bagi siapa saja yang datang ke rumahnya untuk belajar baca Alquran serta terjemahannya dan Ilmu Fiqih.

Puasa Senin Kamis tak pernah ketinggalan. Sholat tahjud dan dhuha tak pernah lupa. Kitab Alquran selalu ada ditangannya bila dia tidak sedang bekerja. Suka bersedekah kepada siapa saja. Bahkan dengan tetangganya non muslim, kebetulan kurang mampu, selalu memberikan beras, uang dan makanan lainnya.

Siapa saja yang datang ke rumahnya selalu diberi minuman dan makanan. Bahkan kadang kadang kita melihat seperti setengah paksa kepada tamunya.

Disamping itu, beliau selalu bersilaturrahmi mengunjungi kerabat dan famili serta handai taulannya. Di mana saja didengarnya ada keluarganya, beliau berusaha mendatanginya.

Pernah saya mendampinginya mencari saudara sepupu ayahnya di Kuala Tungkal Jambi, dengan satu kata kunci 'panglima selempang merah' pengawal Sultan Jambi yang sudah terputus komunikasi sejak perang agresi Belanda. Akhirnya kami temui ahli waris keturunannya di Kuala Tunggkal Jambi.

Di dalam setiap perjalanan selalu minta istirahat di tempat yang ada masjidnya. Semua masjid bersejarah di pulau Sumatera dan pulau Jawa hampir 90% dikunjunginya. Sebagian masjid di Melaka, Kualalumpur, Johor dan Singapura juga sudah diziarahinya.

Bahkan diusianya 85 tahun beliau minta saya mengantarkannya ke Palestina ziarah ke Masjid Aqsa. Dan yang paling menakjubkannya, semua biaya perjalanan tersebut atas biayanya sendiri. Saya hanya sabagai pendamping guidenya saja.

Dan selama saya mengikuti berbagai kepergiannya, tak pernah saya menemui kesulitan apapun.

Saat beliau meninggal dunia, masyarakat yang datang melayat, banyak sekali. Sholat jenazah di rumah yang saya Imami dikuti sepenuh rumah. Dan yang sholat di Masjid selain jemaah Jumatan juga diikuti pula oleh pelayat yang tidak sempat ikut sholat jenazah di rumah. Sholat di masjid di Imami oleh adik saya H. Syaifuddin Effendi.

Selesai prosesi penyelenggaraan fardu kifayah, mulai dari dimandikan sampai dikuburkan berjalan lancar dan penuh khidmat. Alhamdulillah.

Setelah pelayat meninggalkan pekuburan, saya masih tetap bertahan sebentar berdoa sendiri sekaligus muhasabah diri. Betapa kecilnya diriku yang selama ini merasa berpendidikan tinggi, pernah memegang jabatan dalam pemerintahan dan masyarakat, pernah diberi Allah kesempatan memiliki tingkat sosial berkecukupan, dianugerahkan anak menantu dan cucu yang tidak mengecewakan. Alhamdulillah.

Sekali lagi saya menangis, menangis dan menangis karena saya tidak mampu mencapai kebaikan dan kesempurnaan yang dicapai oleh Ibu saya yang hanya seorang perempuan yang selalu dianggap lemah.

Saya bayangkan ketika saya meninggal, saya coba menghitung orang terdekat saya, saudara, anak cucu, sahabat karib yang akan melayat saya dan yang akan mengantarkan saya ke kuburan tidak melebihi 40 orang. Betapa hinanya saya.

Ya Allah ampunilah saya dan berikanlah saya kesempatan untuk bersilaturrahmi kepada semua kerabat saya untuk bisa saling memaafkan atas kesalahan saya, atas kesombongan saya, atas kezaliman saya. Semoga tidak terkait lagi saat hisap diakhirat kelak.

Selamat jalan ibunda, semoga Allah telah menyediakan istana di surgaNYA. Aamiin ya Rabbalalamin


Pekanbaru, 9 Desember 2023