- 01/04/2025
DALAM era digital yang penuh hiruk-pikuk informasi, komunikasi politik menjadi instrumen penting bagi pemerintahan. Salah satu sosok kunci dalam komunikasi tersebut adalah Juru Bicara Presiden.
Namun, belakangan muncul kecenderungan di mana peran jubir sering disamakan, atau bahkan diambil alih, oleh buzzer—sekelompok orang yang bekerja mempromosikan atau menyerang opini tertentu di media sosial.
Padahal, antara juru bicara dan buzzer memiliki perbedaan mendasar. Juru Bicara Presiden adalah pejabat resmi yang bertugas menyampaikan kebijakan pemerintah kepada publik dengan akurasi dan tanggung jawab.
Seorang jubir berbicara atas nama negara, bukan sekadar membela seorang tokoh atau kepentingan politik tertentu. Ia harus memastikan bahwa setiap informasi yang disampaikan berbasis fakta dan kebijakan yang telah diputuskan oleh pemerintah.
Di sisi lain, buzzer bekerja dengan logika yang berbeda. Mereka tidak terikat oleh etika komunikasi resmi. Tugas utama mereka adalah membentuk opini publik—baik dengan cara mempromosikan kebijakan tertentu maupun menyerang lawan politik.
Sering kali, mereka menggunakan narasi hiperbolis, framing berlebihan, bahkan tidak jarang menyebarkan disinformasi demi memenangkan pertarungan opini di media sosial.
Bahaya Jika Buzzer Menjadi Juru Bicara
Mengangkat seorang buzzer sebagai Juru Bicara Presiden bukan sekadar kesalahan teknis, tetapi juga membawa risiko serius bagi kredibilitas pemerintah.
Pertama, hal ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap informasi resmi. Jika seorang jubir lebih sibuk menggiring opini daripada menjelaskan kebijakan dengan jernih, maka masyarakat akan sulit membedakan mana yang merupakan informasi valid dan mana yang sekadar propaganda.
Kedua, komunikasi pemerintah yang seharusnya berorientasi pada penjelasan kebijakan bisa berubah menjadi alat politik yang agresif. Seorang jubir yang bermental buzzer cenderung lebih banyak menyerang pihak yang berbeda pandangan daripada membangun dialog yang sehat. Hal ini bisa memperburuk polarisasi di masyarakat, alih-alih menciptakan pemahaman yang lebih baik terhadap kebijakan negara.
Ketiga, penunjukan buzzer sebagai jubir berpotensi melemahkan transparansi dan akuntabilitas dalam komunikasi pemerintah. Seorang juru bicara yang profesional dapat dimintai pertanggungjawaban atas pernyataannya.
Namun, seorang buzzer yang terbiasa bermain dalam ranah opini subjektif dan framing bisa saja menghindari akuntabilitas dengan cara mengaburkan fakta atau memainkan retorika yang manipulatif.
Dan semua itu yg terpapar di mata publik saat ini.
Jubir Bukan Sekadar Pembela
Juru Bicara Presiden bukan sekadar perisai politik bagi kepala negara. Ia adalah penghubung antara pemerintah dan rakyat, yang tugasnya memastikan bahwa publik mendapatkan informasi yang jelas dan akurat tentang kebijakan negara.
Dalam demokrasi yang sehat, komunikasi pemerintah harus berbasis transparansi dan profesionalisme, bukan sekadar perang opini. Jika jubir justru lebih banyak berperan sebagai buzzer, maka yang terjadi bukan hanya krisis kepercayaan, tetapi juga melemahnya fondasi komunikasi negara yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik, bukan sekadar kepentingan politik jangka pendek.
Masyarakat berhak mendapatkan informasi yang jujur dan akurat, bukan sekadar propaganda yang menguntungkan segelintir orang.
Untuk itu, pemerintah perlu lebih cermat dalam memilih siapa yang layak menjadi suara resmi negara. Sebab, ketika komunikasi negara dikendalikan oleh logika buzzer, maka yang dipertaruhkan bukan hanya reputasi pemerintah, tetapi juga kualitas demokrasi itu sendiri.
Tak heran Ibu Susi Pujiastuti kemudian bereaksi keras, minta jubir Presiden segera check-out. Karena lebih kental rasa buzzer nya ketimbang jubir! ***
Jubir presiden Hasan Nasbi kepala babi buzzer VOXindonews Lazada Shopee