- 12/05/2025
GELOMBANG Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kembali menerpa sejumlah media nasional, termasuk-sekedar untuk menyebut- stasiun televisi besar seperti Kompas TV dan TV One. Kejadian ini tentu menyisakan luka mendalam, tidak hanya bagi para jurnalis yang kehilangan pekerjaan, tetapi juga bagi dunia pers Indonesia yang semakin kehilangan daya kritisnya.
Banyak yang bertanya-tanya, mengapa media yang dulu begitu kuat kini terpuruk? Mengapa pemirsa setia kini memilih beralih ke platform digital atau media alternatif yang seringkali dikelola secara independen?
Jawaban paling jujur mungkin menyakitkan: publik tidak lagi merasa bahwa media arus utama merepresentasikan suara mereka.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan banyak peristiwa besar terjadi di negeri ini—demonstrasi mahasiswa, unjuk rasa buruh, konflik agraria, hingga isu-isu korupsi yang mengguncang. Ironisnya, peristiwa-peristiwa ini justru tidak mendapat porsi pemberitaan yang layak di televisi. Tayangan yang muncul cenderung normatif, datar, atau bahkan tidak muncul sama sekali. Alih-alih menjadi cermin sosial, televisi kini dinilai oleh sebagian publik hanya sebagai corong propaganda, atau dalam istilah yang lebih keras—buzzer pemerintah.
Tidak sedikit masyarakat yang merasa bahwa televisi nasional lebih sibuk memoles citra, menyuguhkan narasi tunggal, dan mengabaikan keresahan nyata yang dirasakan rakyat di lapangan. Dan ketika suara rakyat diredam, ketika demonstrasi besar di ibu kota atau di berbagai daerah tidak diliput, ketika hanya satu versi realitas yang ditayangkan, maka pemirsa pun berpaling.
Dalam perspektif teori komunikasi kritis, kondisi ini disebut sebagai krisis legitimasi media. Ketika media kehilangan kepercayaan publik, maka yang terjadi adalah eksodus penonton. Media yang tidak dipercaya, tak akan ditonton. Dan ketika penonton pergi, iklan ikut menghilang. Hantaman ekonomi pun tak terelakkan. Maka PHK menjadi keniscayaan yang menyedihkan.
Ada pula yang melihat fenomena ini melalui lensa teori konspiratif: bahwa pengendalian media oleh kekuatan politik tertentu telah menggeser fungsinya dari watchdog menjadi alat pengalihan isu. Dalam situasi seperti ini, pemangkasan staf dan jurnalis kritis justru dilihat oleh sebagian kalangan sebagai bagian dari "sterilisasi redaksi". Narasi tunggal harus dijaga tetap dominan, sementara suara-suara kritis dipreteli secara sistematis—baik secara editorial maupun struktural.
Apapun alasannya, PHK massal di media seperti Kompas TV adalah sinyal bahaya. Bukan sekadar krisis bisnis, tapi krisis kepercayaan. Publik sudah lama tidak menonton televisi bukan karena tidak ada waktu, tapi karena tidak ada lagi yang bisa dipercaya. Di era banjir informasi seperti sekarang, publik lebih memilih media yang jujur meski sederhana, daripada yang glamor tapi penuh kepalsuan.
Kini, pertanyaannya bukan lagi soal siapa yang di-PHK. Tapi, mampukah media nasional merebut kembali kepercayaan publik sebelum semuanya terlambat?
Gelombang PHK Media Massa TV One Kompas TV VOXindonews Lazada Shopee